Rabu, 01 Februari 2012

geologi batu bara

dudi geologist

Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut.

* Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.
* Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.
* Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien
dibandingkan dengan bituminus.
* Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari beratnya.
* Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah.
PERHITUNGAN CADANGAN BATUBARA

Sumber daya batubara (Coal Resources) adalah bagian dari endapan batubara yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Sumber daya batu bara ini dibagi dalam kelas-kelas sumber daya berdasarkan tingkat keyakinan geologi yang ditentukan secara kualitatif oleh kondisi geologi/tingkat kompleksitas dan secara kuantitatif oleh jarak titik informasi. Sumberdaya ini dapat meningkat menjadi cadangan apabila setelah dilakukan kajian kelayakan dinyatakan layak.
Cadangan batubara (Coal Reserves) adalah bagian dari sumber daya batubara yang telah diketahui dimensi, sebaran kuantitas, dan kualitasnya, yang pada saat pengkajian kelayakan dinyatakan layak untuk ditambang.
Klasifikasi sumber daya dan cadangan batubara didasarkan pada tingkat keyakinan geologi dan kajian kelayakan. Pengelompokan tersebut mengandung dua aspek, yaitu aspek geologi dan aspek ekonomi.
Kelas Sumber Daya
1. Sumber Daya Batubara Hipotetik (Hypothetical Coal Resource)
Sumber daya batu bara hipotetik adalah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan survei tinjau.
Sejumlah kelas sumber daya yang belum ditemukan yang sama dengan cadangan batubara yg diharapkan mungkin ada di daerah atau wilayah batubara yang sama dibawah kondisi geologi atau perluasan dari sumberdaya batubara tereka. Pada umumnya, sumberdaya berada pada daerah dimana titik-titik sampling dan pengukuran serat bukti untuk ketebalan dan keberadaan batubara diambil dari distant outcrops, pertambangan, lubang-lubang galian, serta sumur-sumur. Jika eksplorasi menyatakan bahwa kebenaran dari hipotesis sumberdaya dan mengungkapkan informasi yg cukup tentang kualitasnya, jumlah serta rank, maka mereka akan di klasifikasikan kembali sebagai sumber daya teridentifikasi (identified resources).
2. Sumber Daya Batubara Tereka (inferred Coal Resource)
Sumber daya batu bara tereka adalah jumlah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan prospeksi.
Titik pengamatan mempunyai jarak yang cukup jauh sehingga penilaian dari sumber daya tidak dapat diandalkan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam daerah antara 1,2 km – 4,8 km. termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm atau lebih.
3. Sumber Daya Batubara Tertunjuk (Indicated Coal Resource)
Sumber daya batu bara tertunjuk adalah jumlah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi pendahuluan.
Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk melakukan penafsiran secara relistik dari ketebalan, kualitas, kedalaman, dan jumlah insitu batubara dan dengan alasan sumber daya yang ditafsir tidak akan mempunyai variasi yang cukup besar jika eksplorasi yang lebih detail dilakukan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti gteologi dalam daerah antara 0,4 km – 1,2 km. termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sib bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm.
4. Sumber Daya Batubara Terukur (Measured Coal Resourced)
Sumber daya batu bara terukur adalah jumlah batu bara di daerah peyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat–syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi rinci.
Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk diandalkan untuk melakukan penafsiran ketebalan batubara, kualitas, kedalaman, dan jumlah batubara insitu. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam radius 0,4 km. Termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm.
Penghitungan Sumber Daya
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung sumberdaya batubara di daerah penelitian. Pemakaian metode disesuaikan dengan kualitas data, jenis data yang diperoleh, dan kondisi lapangan serta metode penambangan (misalnya sudut penambangan). Karena data yang digunakan dalam penghitungan hanya berupa data singkapan, maka metode yang digunakan untuk penghitungan sumber daya daerah penelitian adalah metode Circular (USGS) (Gambar).
http://berbagisesama.blog.com/files/2010/11/circular-usgs1.jpg
Aturan Penghitungan Sumberdaya Batubara dengan Metode Circular (USGS) (Wood et al., 1983)
Penghitungan sumber daya batubara menurut USGS dapat dihitung dengan rumus
Tonnase batubara = A x B x C, dimana
A = bobot ketebalan rata-rata batubara dalam inci, feet, cm atau meter
B = berat batubara per stuan volume yang sesuai atau metric ton.
C = area batubara dalam acre atau hektar
Kemiringan lapisan batubara juga memberikan pengaruh dalam perhitungan sumber daya batubara. Bila lapisan batubara memiliki kemiringan yang berbeda-beda, maka perhitungan dilakukan secara terpisah.
1.      Kemiringan 00 – 100
Perhitungan Tonase dilakukan langsung dengan menggunakan rumus Tonnase = ketebalan batubara x berat jenis batubara x area batubara
2.      Kemiringan 100 – 300
Untuk kemiringan 100 – 300, tonase batubara harus dibagi dengan nilai cosinus kemiringan lapisan batubara.
3.      Kemiringan > 300
Untuk kemiringan > 300, tonase batubara dikali dengan nilai cosinus kemiringan lapisan batubara.
DAERAH HORNA
Sungai Tohu.
Tersingkap di sungai Tohu, sebagai batuan pengapitnya terdiri dari batulempung berwarna abu-abu muda yang mengandung fragemen tumbuhan, kemiringan lapisan sekitar 10 ke arah tenggara, tebal batubara bagian bawah 33 cm, sedangkan bagian atasnya sekitar 5 cm, antara kedua lapisan batubara tersebut terdapat sisipan lempung   tebalnya sekitar 4 cm. Batubara berwarna coklat kehitaman, kusam  dan keras, termasuk dalam batubara kusam.
 
Tersingkap di pinggir sungai Tohu, kemiringan lapisan 10, ke arah tenggara. Tebal keselruhan lapisan batubara yang tersingkap sekitar 56 cm, tetapi didalamnya terdapat sisipan dua lapisan lempung, tebalnya sekitar 8 cm dan 18 cm, Secara megaskopis batubara berwarna coklat kehitaman, kusam, pecahan  konkoidal. Batuan pengapitnya batulempung berwarna abu-abu.
Tersingkap dipinggir sungai Tohu yang membentuk lipatan seret, kemiringan lapisan 50 –60 ke arah barat daya. Tebal lapisan sekitar 82 cm, secara keseluruhan dari bawah ke atas terdiri dari batubara kusam 25 cm, lempung karbonan 14 cm dan batubara kusam 15 cm. Batuan Pengapitnya adalah lempung abu-abu
 
Bukit Hitu
Tersingkap di bukit Hitu sekitar 400 meter sebelah timur  S. Tohu. Panjang singkapan 100 meter, lebar 50 m, jurus dan kemiringan lapisan N 100o E/15o . Tebal lapisan  batubara 39 cm, secara berurutan dari bawah ke atas terdiri dari perselingan batubara kusam dan mengkilat setebal 26 cm, lempung 5 cm, dan batubara kusam 8 cm. Bagian bawah berupa singkapan batulempung abu-abu muda, sedangkan di atasnya tidak ada lapisan yang menutupinya.
Merupakan sisipan batubara kusam tebalnya 15 dan 5 cm, terdapat dalam batulempung berselingan dengan batupasir berwarna abu-abu keputihan, tersingkap di pinggir kali Temok dengan jurus dan kemiringan lapisan N 105o E/20 o
Tersingkap di sungai Temok Cabang Kanan, kedudukan batubara N 140o  E/23o  . Tebal lapisan 76 cm, secara berurutan dari bawah ke atas terdiri dari perselingan batubara mengkilat dan kusam 56 cm, lempung karbonan 15 cm dan batubara mengkilat 5 cm. Sebagai batuan pengapitnya adalah batulempung masif berwarna abu-abu, tebal lempung bagian bawah tidak diketahui karena sebagian tertutup air, sedangkan tebal bagian atas 1,2 meter.
 Tersingkap di pinggir S. Titeng dengan kedudukan lapisan batubara N 125oE/15o. Tebal lapisan batubara 70 cm, umumnya terdiri dari batubara mengkilat, sebagian batuan pengapitnya batulempung berwarna abu-abu tua dengan sisipan batupasir. Pada lokasi ini juga ditemukan batubara setebal 50 cm.
Tersingkap dipinggir Sungai Titeng, yaitu pada pertembuan antara 2 sungai. Kedudukan lapisan N 125oE/25o. Jenis lapisan batubara yangtersingkap dari bawah keatas adalah batubara mengkilat 70 cm, lempung karbonan 10 cm, lempung 20 cm, dan batubara yang bercampur dengan lempung dan mengandung sedikit resin setebal 20 cm. Di bagian bawah singkapan terdapat lapisan lempung karbonan, sedangkan bagian atas tertutupi lapisan batupasir halus
Tersingkap di S. Roga I (anak sungai Tistohu) tetapi arah jurus kemiringan lapisannya tidak jelas. Batuannya terdiri dari batubata mengkilat, yang diapit oleh batulempung. (lokasi 80)
Tersingkap di S. Roga I (anak sungai Tistohu), kedudukan lapisan batubara N 65oE/75o, Urutan singkapan dari  bawah ke atas terdiri dari batubara mengkilat 22 cm, batulempung 60 cm, batubara kusam 15 cm, batulempung karbonan 5 cm, batulempung abu-abu kecoklatan yang bercampunr dengan tanah (2,7 m), batubara mengkilat 50 cm, lempung barbonan 20 cm, perselingan batubara mengkilat dan kusam sekitar 1,60 m. Namun tebal ini belum pasti karena sebagian lapisannya tertutup tanah dan lempung karboan.
Berdasarkan singkapan-singkapan yang ditemukan di lapangan, maka sungai Tistohu di dekat Kampung Horna merupakan daerah batubara yang berpotensi. Dari hasil rekontruki penampang di lokasi s-36 diperkirakan bahwa endapan batubara di dekat Horna  terdiri dari dari 4 lapisan, dengan jumlah ketebalan 4,5, sebaran ke arah timur dikorelasikan sampai sungai Titeng yang jaraknya 3 km, sedangkan jarak sebaran le arah barat di batasi sejauh 1 km, jadi panjang daerah potensi adalah sekitar 4 Km2. Mengingat sudut kemiringan lapisan cukup besar 250 – 75o , maka lebar daerah yang dianggap berpotensi dianggap sejauh 200  dari singkapan. Dengan asumsi berat jenis batubara sekitar 1,3 gram/cm3, maka cadangan batubara di sekitar kampung Horna sekitar 4.5 juta ton.
 Perhitungan cadangan tersebut bersifat hipotetis. Kualitas batubara ini telah dianalisis dengan menggunakan metode Air Dies Basis (ADB). Dari 10 contoh yang analisis didapat angka kisan nilai kalori 5820 m- 7935 kal/gr, kadar belerang 0,21 – 1,78 %, kadar abu 2,1-1,5%, Karbon tertambat 44,3 – 51,8 %, zat terbang 40,3 – 49,43%, kelembaban 3- 16%. HGI 40 –55. Dari 10 contoh yang analisis didapat angka angkar rata-rata nilai kalori 7003 kal/gr., kadar belerang 0,94 %, kadar abu 3,4 %, Karbon tertambat 48,1 %, zat terbang 44,90%, kelembaban 6,.8%.
DAERAH IGOMO
Singkapan batubara pada umumnya terletak di bagian bawah formasi Steenkool dengan ketebalan mulai 5 cm – 190 cm, pada umumnya merupakan batubara mengkilat berlapis.
S. Titoko.
Batubara yang tersingkap di S. Titoko mempunyai jurus dan kimiringan N 120o E/30o, tebal lapisan 160 cm, hitam mengkilat, masif, pecahan semi konkoidal, litotype batubaranya adalah batubara mengkilat, diapit oleh batulempung karbonan, berwarna hitam, dan batupasir lempungan berwarna abu-abu. Koordinat singkapan ini adalah 133o33’30,75” BT dan 01o37’15,28” LS. Pada lokasi 133o33’55.21” BT dan 01o37’26,25” LS juga ditemukan lapisan setebal 60 cm, dengan kedudukan N 135o E/35o berwarna hitam mengkilat dengan kilat lemak, diapit oleh batulempung.
 Anak sungai Titoku
Tersingkap pada koordinat 133o33’52.05” BT dan 01o37’09.51” LS, arah dan jurus kemiringan N 125o E/7o, tebal lapisan batubara 165 cm , berwarna hitam mengkilat, kompak pecahan semi konkoidal,, litotipe batubara mengkilat, diapit oleh batulempung di bagian bawah dan batupasir di bagian atas. Berjarak 75 dari lokasi tersebut ditemukan singkapan batubara dengan urutan, batubara ketebalan 50 cm pada bagian bawah, batulempung setebal 7 cm, dan  batubara  setebal 10 cm. Batubara berwarna hitam mengkilat, kompak, pecahan semi konkoidal, litotipe  adalah batubara mengkilat, di apit oleh lapisan lempung pasiran pada bagian bawah, dan lempung abu-abu terang pada bagian atas. Di sekitar lokasi tersebut juga ditemukan singkapan batubara setebal 80 cm, dengan urutan sebagai berikut 50 cm pada lapisan pertama, 15 cm pada lapisan kedua, 5 cm pada lapisan ketiga dan  10 cm pada lapisan keempat.
Berjarak 500 meter dari lokasi di atas, ditemukan singkapan batubara setebal 106 cm, dengan kedudukan N 120o E/22o yenga tersusun oleh empat lapisan, yaitu
-           lapisan pertama berupa batubara mengkilat dengan ketebalan 30 cm, terletak pada lapisan lempung setebal 200 cm.  
-           Lapisan kedua berupa batubara mengkilatsetebal 60 cm yang terletak pada lapisan batulempung setebal 400 cm
-           Lapisan ketiga ketebalan batubaranya sekitar 6 cm yangterlatak pada lapisan lempung setebal
-           Lapisan keempat adalah batubara setebal 10 cm dengan diapit oleh batuibara setebal 20 cm.
Berjarak 50 cm dari singkapan tersebut ditemukan singkapan 8 lapisan batubara dengan tebal 220 cm,  kedudukan perlapisan N 120o E/25o., dengan ciri warna hitam mengkilat, berlapis, pecahan semi konkoidal, litotipe adalah batubara mengkilat.
Di lokasi tersebut juga ditemukan singkapan batubara setebal 160 cm dengan kedudukan N 120o E/34o yang ditindis  oleh batulempung setebal 25 cm.
 Sungai Cicwa
Tersingkap pada koordinat 133o32’58.98” BT dan 01o36’38.05” LS, dengan tebal batubara 100 cm, batubara berwarna hitam mengkilat, pecahan semi konkoidal
Berdasarkan hasil perhitungan dengan memakai rumus yang biasanya dipakai untuk menghitung batubara, maka cadangan hipotetik di derah Igomo adalah sekitar 20 juta ton. Kualitas batubara ini telah dianalisis dengan menggunakan metode Air Dies Basis (ADB). Dari 10 contoh yang analisis didapat angka kisan nilai kalori 5820 m- 7935 kal/gr, kadar belerang 0,21 – 1,78 %, kadar abu 2,1-1,5%, Karbon tertambat 44,3 – 51,8 %, zat terbang 40,3 – 49,43%, kelembaban 3- 16%. HGI 40 –55. Dari 10 contoh yang analisis didapat angka angkar rata-rata nilai kalori 7003 kal/gr., kadar belerang 0,94 %, kadar abu 3,4 %, Karbon tertambat 48,1 %, zat terbang 44,90%, kelembaban 6,.8%.


SALAWATI SORONG
 Lokasi dan Kesampaian Daerah
Daerah prospek terletak di daerah Salawati dan sekitarnya, Distrik Salawati dengan posisi Koordinat 131o01’40” – 131o10’36” BT dan 1o00 – 1o06’ LS. Daerah tersebut dapat dicapai pesawat terbang dari Jayapura ke lapangan terbang di Jeffman, kemudian dengan kapal motor dilanjutkan ke kota Sorong, dari Sorong dilanjutkan lagi Ke Pulau Salawati dengan Kapal motor dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Untuk mencapai pulau-pulau di sekitar daerah penyelidikan digunakan pula kapal motor yang dapt disewa di Pelabuhan yang ada di desa Kelobo.

Geologi
Daerah prospek sebagian besar berupa dataran dengan sudut lereng kurang dari satu derajad, perbukitan bergelombang menempati sebagaian kecil di bagian barat dan timur daerah prospek. Daerah prospek umumnya merupakan rawa sagu dan rawa bakau. Pola pengaliran sungai menunjukkan pola dendretik dan gradien sungai kecil serta arus kecepatan lambat.
 Satuan batuan yang tersingkap di daerah penyelidikan meliputi satuan batuan dari Formasi Klasaman yang terdiri dari batupasir gampingan, abu-abu, perlapisan kurang baik, bagian atasnya ditandai dengan batupasir berbutir kasar, banyak mengandung gloukonit, hijau gelap seperti yang tersingkap di bagian barat Warir Tengah dan Kelopo We. Kemudian diatasnya lagi dijumpai batunapal, plastis, abu-abu, pasiran dan perselingan batupasir gampingan yang keras dan lunak. Batupasir yang keras mempunyai ketebalan perlapisan kurang dari 39 cm, sedang batupasir yang lunak mempunyai perlapisan yang tipis.
 Di atas Formasi Klasaman secara tidak selaras diendapkan satuan Konglomerat sele yang terdiri dari konglomerat Sele yang terdiri dari konglomerat aneka bahan dengan ciri-ciri fragmen terdiri dari kuarsa, lapukan granit, batupasir, dan batunapal. Bagian Bawah satuan ini berupa perulangan batuan konglomerat berfragmen sangat kasar bergradasi hingga batulempung pasiran yang mengandung sisa-sisa tanaman. Satuan ini ditandai dengan lapisan batubara muda dengan ketebalan yang tidak konstan berkisar antara beberapa sentimenter hingga 10 meter. Bagian atas dari satuan ini berupa konglomerat pasiran, perlapisan kurang baik. Satuan konglomerat Sele ini tersingkap di Pantai bagian barat P. Warir, bagian tengah P. Kabra dan P. Batimee, serta P. Salawati bagian Selatan. Sedangkan lapisan batubara muda dapat dijumpai di S. Waiboe, di Desa Kelobo, di P. Warir bagian selatan dan bagian timur.
Satuan Paling muda di daerah penyelidikan berupa endapan asluvial pantai dan sungai yang terdiri dari kerikil, pasir, lumpur dan sisa-sisa tumbuhan dari rawa bakau dan rawa sagu.
Struktur geologi yang dijumpai di daerah prospek berupa lipatan yang cenderung berarah timur-barat dan sesar yang juga cenderung berarah timur-barat. Gejala sesar ini dapat di amati dari kelurusan gawir di sepanjang jalan dari daerah SP I sanpai SP II di Pulau Salawati.

 Potensi Sumber daya Batubara
Paling tidak ada 8 lokasi singkapan batubara dijumpai di daerah prospek, yaitu :
a.    Di tepi Pantai Desa Kelobo (S3)
Singkapan batubara di lokasi ini mempunyai kedudukan N 284oE/75o, tebal lapisan 1,65 m, panjang singkapan mencapai 30 meter, batubara ini berwarna hitam kecoklatan dan agak lunak, serta mengandung sedikit pirit.
b.    Di tepi S. Waiboe
Batubara di daerah ini berwarna hitam kecoklatan, agak lunak, mengandung pirit (<1%), struktur sisa tumbuhan kadang masing masih tampak. Kedudukan lapisan batubara N 330oE/9o, dimensi singkapan sekitar 30 x 10 meter, ketebalan sulit ditentukan karena terbatasnya singkapan dan diperlukan pemboran eksplorasi.
Hasil analisa yng dilakukan di Laboratorium Kimia Mineral Direktorat Sumberdaya Mineral di Bandung menunjukkan bahwa batubara di daerah ini mempunyai kadar air 12,2%, kadar abu 2,9%, Nilai Kalori 5600 Kal/gram, kandungan belerang 0,33%. Dalam klasifikasi ASTM termasuk jenis “brown coal”.
c.    Di dekat S. Waiboe
Batubara di lokasi ini hitam kecoklatan, agak lunak, ketebalan 10 meter, kedudukan lapisan batubara N 270oE/70o panjang tersingkap 50 meter. Hasil analisa yng dilakukan di Laboratorium Kimia Mineral Direktorat Sumberdaya Mineral di Bandung menunjukkan bahwa batubara di daerah ini mempunyai kadar air 13,1%, kadar abu 5,4%, Nilai Kalori 5315 Kal/gram, kandungan belerang 0,42%. Dalam klasifikasi ASTM termasuk jenis “brown coal”.
d.    Di Warir
Batubara di daerah ini berwarna hitam kecoklatan, keruh, agak lunak, perlapisan kurang baik, kedudukan lapisan N 275oE/15o. Dimensi singkapan 8 x 13,30 meter dan ketebalan 67,2 meter. Batubara ini tersingkap pada daerah perbukitan dengan sudut lereng 25o.
e.    Di S. Wailen
Singkapan di lokasi ini mempunyai kedudukan lapisan N 228oE/30o, berwarna hitam kecoklatan, agak lunak, dimensi singkapan 2 x 4 meter, ketebalan 25 cm. Lapisan diatasnya berupa batulanau gampingan, abu-abu, agak lapuk. Sedan lapisan bawahnya berupa lempung abu-abu, gampingan, lunak.
f.      Di dekat dermaga Desa Kelobo
Batubara di lokasi ini berwarna hitam kecoklatan, agak lunak, kedudukan perlapisan N 260oE/25o. Dimensi  singkapan 21 x 2,9 m, tebal 2,3 meter.
g.        Di Lokasi S14
Batubara di lokasi ini berwarna coklat kehitaman, agak lunak, kusam, kedudukan lapisan N 250oE/70o, tebal 16,8 meter. Kondisi di sekitar singkapan berupa perbukitan bergelombang rendah.
h.        Di P. Reef (S9)
Batubara di lokasi ini berwarna hitam kecoklatan, agak lunak, kusam, kedudukan lapisan  N 210oE/30o. Dimensi  singkapan 19,9 x 29,8  m, ketebalan belum dapat ditentukan karena perlu pemboran eksplorasi. Pada saat air pasang pulau ini akan tenggelam.
Untuk menghitung besarnya sumberdaya batubara di daerah prospek digunakan batasan-batasan sebagai berikut :
a.       Penghitungan cadangan hipotetik didasarkan pada rekontruksi posisi batubara dari singkapan-singkapan tersebut di atas.
b.      Penghitungan dilakukan pada daerah yang ditutupi oleh lapisan tanah pada jarak miring tidak lebih dari 300 meter.
c.       Batas pelamparan searah jurus dari singkapan batubara merupakan panjang maksimum dari singkapan yang dihitung (p = panjang).
d.      Jumlah sumberdaya yang dihitung dihasilkan dari pengkalian p x 1 x tebal x berat jenis batubara (diambil harga 1,3)
e.      Ketebalan batubara diambil dari ketebalan yang dianggap mewakili yaitu sekitar 5 meter di bagian utara dan sekitar 10 meter di bagian selatan
 
Dari batasan-batasan tersebut di atas diperoleh cadangan sumberdaya hipotetik sebesar :
Di bagian Utara             = 5600 m x 300 m x 5  x 1,3 ton/m3.
=  10.920.000 ton
Di bagian Selatan          =  6000 m x 300 m x 10 m x 1,3 ton/m3.
=  23.400.000 ton
 
Batubara di daerah penelidikan secara umum mempunyai ciri-ciri berwarna hitam kecoklatan, kusam, rapuh, dapat mengotori tangan, sering diisi mineral lain seperti mineral lempung, sulfida yang berupa pirit, dan kadang masih terlihat tekstur kayu, maka menurut Dieesel (1984) jenis ini masih termasuk Fusain. Hasil analisis laboratorium menunjukkan nilai kalor rata-rata 5457,5 kal/gram, kadar air rata-rata 12,65%, kadar abu rata-rata 4,15 %, dan kadar belerang 0,37 %.
Dengan mempertimbangkan beberapa faktor,  utamanya menyangkut kualitas batubara yang berupa “brown coal”,  kedudukan perlapisan yang hampir tegak terutama di baghian tengah, serta kondidi alam yang berupa rawa-rawa dan morfologi berupa dataran dengan ketinggian kurang dari 50 meter dari permukaan laut, maka batubara di daerah ini dapat dikembangkan sebagai energi alternatif di kota sorong dalam bentuk suatu PLTGU mini yang mampu mensuplai kebutuhan tenaga listrik di kota tersebut.


STRATIGRAFI


http://distamben.papua.go.id/images/pr01115.jpg

Pre-Kambrium-Paleozoikum

Di daerah Badan Burung atau  sekitar Pegunungan Tengah tersingkap Formasi Awigatoh sebagai batuan tertua di Papua yang berumur pre-Kambrium, juga disebut Formasi Nerewip oleh Parris (1994) di dalam lembar peta Timika. Formasi ini terdiri dari batuan metabasalt, metavulkanik dengan sebagian kecil batugamping, batuserpih dan batulempung. Formasi Awigatoh ini ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Kariem.
Formasi Kariem tersusun oleh perulangan batupasir kuarsa berbutir halus dengan batuserpih dan batulempung. Umur formasi ini ditafsirkan sekitar Awal Paleozoikum atau pre-Kambrium yang didasarkan pada posisi stratigrafinya yang berada di bawah Formasi Modio yang berumum ilur Devon. Penentuan umur Formasi Modia dilakukan dengan metode fision track  dari mineral zirkon yaitu 650+ 6,3 juta tahun yang lalu (Quarles van Ufford,1996).
Didaerah Gunung Bijih Mining Access (GBMA) dijumpai singkapan Formasi Kariem yang ditutupi secara disconformable oleh Formasi Tuaba. Formasi Tuaba tersusun oleh batupasir kuarsa berlapis sedang dengan sisipan konglomerat dan batuserpih yang diperkirakan berumur Awal Paleozoikum atau pre-Kambrium.
Selanjutnya di atas Formasi Tuaba dijumpai Formasi Modio yang dibagi menjadi 2 bagian yaitu bagian bawah Anggota A  yang didominasi oleh batuan karbonat yaitu stromatolitik dolostone berlapis baik. Sedangkan dibagian atasnya ditempati oleh Anggota B yang terdiri dari batupasir berbutir halus dengan internal struktur seperti planar dan silang siur, serta laminasi sejajar. Umur formasi ini ditentukan berdasarkan kandungan koral dan fission track yang menghasilkan Silur-Devon. Kontak formasi ini dengan Formasi Aiduna yang terletak di atasnya ditafsirkan sebagai kantak  disconformable (Ufford, 1996).
Formasi Aiduna dicirikan oleh batuan silisiklastik berlapis baik dengan sisipan batubara, dan ditafsirkan sebagai endapan fluvial sampai lingkungan delta, dan secara stratigrafi formasi ini ditindih secara selaras oleh Formasi Tipuma. Umur formasi ini ditentukan berdasarkan kandungan fosil brachiopoda yaitu Perm.
Di daerah Kepala Burung atau Salawati-Bintuni, batuan dasar yang berumur Paleozoikum terutama tersingkap di sebelah timur kepala Burung yang dikenal sebagai Tinggian Kemum, serta disekitar Gunung Bijih Mining Access (GBMA) yaitu di sebelah barat daya Pegunungan Tengah. Batuan dasar tersebut disebut Formasi Kemum yang tersusun oleh batusabak, filit dan kuarsit. Formasi ini di sekitar Kepala Burung dintrusi oleh bitit Granit yang berumur Karbon yang disebut sebagai Anggi Granit pada Trias. Oleh sebab itu Formasi Kemum ditafsirkan terbentuk pada sekitar Devon sampai Awal Karbon (Pigram dkk, 1982).
Selanjutnya Formasi Kemum ditindih secara tidak selaras oleh Group Aifam. Di sekitar Kepala Burung group ini dibagi menjadi 3 Formasi yaitu Formasi Aimau, Aifat dan Ainim. Group ini terdiri dari suatu seri batuan sedimen yang taktermalihkan dan terbentuk di lingkungan laut dangkal sampai fluvio-delataik. Satuan ini di daerah Bintuni ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi Tipuma yang berumur Trias (Bintoro & Luthfi, 1999).

Mesozoikum

Formasi Tipuma terdiri dari batulempung yang berwarna merah-kehijauan dan batupasir kasar sampai halus yang berwarna abu-abu kehijauan dengan ketebalan sekitar 550 meter. Umur formasi ini diperkirakan sekitar Trias Tengah sampai Atas dan diendapkan dilingkungan supratidal.
Di daerah Kepala Burung, Formasi Tipuma ditutupi secara tidak selaras oleh Kembelangan Grup yang tak terpisahkan, dimana pada bagian atasnya di sebut Formasi Jass terdiri dari batupasir kuarsa dan batulempung karbonatan; sedangkan di daerah Leher dan Badan Burung Kembelangan Grup dapat dibagi menjadi 4 Formasi yaitu dari bawah ke aas adalah Formasi Kopai (batupasir dengan sisipan batulempung), Formasi  (batupasir), Formasi Paniya (batulempung) dan Formasi Eksmai (batupasir).

Kenozoikum

Grup Batugamping New Guinea, Grup ini dibagi menjadi 4 formasi dari tua ke muada adalah sebagai berikut : Formasi Waripi, Formasi Faumai, Formasi Sirga dan Formasi Kais.
Formasi Waripi terutama tersusun oleh karbonat dolomitik, dan batupsir kuarsa diendapkan di lingkungan laut dangkal yang berumur Paleosen sampai Eosen. Di atas formasi ini diendapkan Formasi Faumai secara selaras dan terdiri dari batugamping berlapis tebal (sampai 15 meter) yang kaya fosil foraminifera, batugamping lanauan dan perlapisan batupasir kuarasa dengan ketebalan sampai 5 meter, tebal seluruh formasi ini sekitar 500 meter.
Formasi Faumai terletak secara selaras di atas Formasi Waripi yang juga merupakan sedimen yang diendapkan di lingkungan laut dangkal. Formasi ini terdiri dari batuan karbonat berbutir halus atau kalsilutit dan kaya akan fosil foraminifera (miliolid) yang menunjukkan umur Eosen.
Formasi sirga dijumpai terletak secara selaras di atas Formasi Faumai, terdiri dari batupasir kuarsa berbutir kasar sampai sedang mengnadung fosil foraminifera, dan batuserpih yang setempat kerikilan. Formasi Sirga ditafsirkan sebagai endapan fluvial sampai laut dangkal dan berumur Oligosen Awal.
Formasi Kais terletak secara selaras di atas Formasi Sirga. Formasi Kais terutama tersusun oleh batugamping yang kaya foraminifera yang berselingan dengan lanau, batuserpih karbonatan dan batubara. Umur formasi ini berkisar antara Awal Miosen sampai Pertengahan Miosen dengan ketebalan sekitar 400 sampai 500 meter.
Miosen sampai Recent.
Pada Miosen sampai recent, di Papua dijumpai adanya 3 formasi yang dikenal sebagai Formasi Klasaman, Steenkool dan Buru yang hampir seumur dan mempunyai kesamaan litologi, yaitu batuan silisiklastik dengan ketebalan sekitar 1000 meter. Ketiga formasi tersebut di atas mempunyai hubungan menjari, Namun Formasi Buru yang dijumpai di daerah Badan Bururng pada bagian bawahnya menjemari dengan Formasi Klasafat. Formasi Klasafat yang berumur Mio-Pliosen dan terdiri dari batupasir lempungan dan batulanau secara selaras ditindih oleh Formasi Klasaman dan Steenkool.
Endapan aluvial dijumpai terutama di sekitar sungai besar sebagai endapan bajir, terutama terdiri dari bongkah, kerakal, kerikil, pasir dan lempung dari rombakan batuan yang lebih tua.
 

SEJARAH GEOLOGI PAPUA

Geologi Papua merupakan priode endapan sedimentasi dengan masa yang panjang pada tepi Utara Kraton Australia yang pasif yang berawal pada Zaman Karbon sampai Tersier Akhir. Lingkungan pengendapan berfluktuasi dari lingkungan air tawar, laut dangkal sampai laut dalam dan mengendapkan batuan klatik kuarsa, termasuk lapisan batuan merah karbonan, dan berbagai batuan karbonat yang ditutupi oleh Kelompok Batugamping New Guinea yang berumur Miosen. Ketebalan urutan sedimentasi ini mencapai + 12.000 meter.
http://distamben.papua.go.id/images/pr01111.gif
Pada Kala Oligosen terjadi aktivitas tektonik besar pertama di Papua, yang merupakan akibat dari tumbukan Lempeng Australia dengan busur kepulauan berumur Eosen pada Lempeng Pasifik. Hal ini menyebabkan deformasi dan metamorfosa fasies sekis hijau berbutir halus, turbidit karbonan pada sisii benua membentuk Jalur “Metamorf Rouffae” yang dikenal sebagai “Metamorf Dorewo"
Akibat lebih lanjut tektonik ini adalah terjadinya sekresi (penciutan) Lempeng Pasifik ke tas jalur malihan dan membentuk Jalur Ofiolit Papua
Pada Kala Oligosen terjadi aktivitas tektonik besar pertama di Papua, yang merupakan akibat dari tumbukan Lempeng Australia dengan busur kepulauan berumur Eosen pada Lempeng Pasifik. Hal ini menyebabkan deformasi dan metamorfosa fasies sekis hijau berbutir halus, turbidit karbonan pada sisii benua membentuk Jalur “Metamorf Rouffae” yang dikenal sebagai “Metamorf Dorewo”. Akibat lebih lanjut tektonik ini adalah terjadinya sekresi (penciutan) Lempeng Pasifik ke tas jalur malihan dan membentuk Jalur Ofiolit Papua.
http://distamben.papua.go.id/images/pr01112.gif
Peristiwa tektonik penting kedua yang melibatkan Papua adalah Orogenesa Melanesia yang berawal dipertengahan Miosen yang diakibatkan oleh adanya  tumbukan Kraton Australia dengan Lempeng Pasifik.
Hal ini mengakibatkan deformasi dan pengangkatan kuat batuan sedimen Karbon-Miosen (CT),  dan membentuk Jalur Aktif Papua. Kelompok Batugamping New Guinea kini terletak pada Pegunungan Tengah. Jalur ini dicirikan oleh sistem yang komplek dengan kemiringan ke arah utara, sesar naik yang mengarah ke Selatan, lipatan kuat atau rebah dengan kemiringan sayap ke arah selatan  Orogenesa Melanesia ini diperkirakan mencapai puncaknya pada Pliosen Tengah.
http://distamben.papua.go.id/images/pr01113.gif
Dari pertengahan Miosen sampai Plistosen, cekungan molase berkembang baik ke Utara maupun Selatan. Erosi yang kuat dalam pembentukan pegunungan menghasilkan detritus yang diendapkan di cekungan-cekungan sehingga mencapai ketebalan 3.000 – 12.000 meter.
Pemetaan Regional yang dilakukan oleh PT Freeport, menemukan paling tidak pernah terjadi tiga fase magmatisme  di daerah Pegunungan Tengah. Secara umum, umur magmatisme diperkirakan berkurang ke arah selatan dani utara dengan pola yang dikenali oleh Davies (1990) di Papua Nugini.
Fase magmatisme tertua terdiri dari terobosan gabroik sampai dioritik, diperkirakan berumur Oligosen dan terdapat dalam lingkungan Metamorfik Derewo. Fase kedua magmatisme berupa diorit berkomposisi alkalin terlokalisir dalam Kelompok Kembelangan pada sisi Selatan Patahan Orogenesa Melanesia Derewo yang berumur Miosen Akhir  sampai Miosen Awal. Magmatisme termuda dan terpenting berupa instrusi dioritik sampai monzonitik   yang dikontrol oleh suatu patahan yang aktif mulai Pliosen Tengah sampai kini. Batuan-Batuan intrusi tersebut menerobos hingga mencapai Kelompok Batugamping New Guinea, dimana endapan porphiri Cu-Au dapat terbentuk seperti Tembagapura dan OK Tedi di Papua Nugini.
 
Tumbukan Kraton Australia dengan Lempeng Pasifik yang terus berlangsung hingga sekarang menyebabkan deformasi batuan dalam cekungan molase tersebut. 
Batuan terobosan di Tembagapura berumur 3 juta tahun (McMahon, 1990, data tidak dipublikasikan), sedangkan batuan terbosan OK Tedi berumur Pliosen akhir pada kisaran 2,6 sampai 1,1 juta tahun. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Nabire Bhakti Mining terhadap 5 contoh batuan intrusi di Distrik Komopa menghasilkan  umur antara 2,9 juta tahun sampai 3,9 juta tahun. Selama Pliosen (7 – 1 juta tahun yang lalu) Jalur lipatan papua dipengaruhi oleh tipe magma I – suatu tipe magma yang kaya akan komposisi potasium kalk alkali yang menjadi sumber mineralisasi Cu-Au yang bernilai ekonomi di Ersberg dan Ok Tedi. Selama pliosen (3,5 – 2,5 JTL) intrusi pada zona tektonik dispersi di kepala burung terjadi pada bagian pemekaran sepanjang batas graben. Batas graben ini terbentuk sebagai respon dari peningkatan beban tektonik di bagian tepi utara lempeng Australia yang diakibatkan oleh adanya pelenturan dan pengangkatan dari bagian depan cekungan sedimen yang menutupi landasan dari Blok Kemum.    Menurut Smith (1990),   Sebagai akibat  benturan lempeng Australia dan Pasifik adalah terjadinya penerobosan batuan beku dengan komposisi sedang kedalam batuan sedimen diatasnya yang sebelumnya telah mengalami patahan dan perlipatan. Hasil penerobosan itu selanjutnya mengubah batuan sedimen dan mineralisasi dengan t*mbaga yang berasosiasi dengan emas dan perak. Tempat – tempat konsentrasi cebakan logam yang berkadar tinggi diperkiraakan terdapat pada lajur Pegunungan Tengah Papua mulai dari komplek Tembagapura (Erstberg, Grasberg , DOM, Mata Kucing, dll), Setakwa, Mamoa, Wabu, Komopa – Dawagu, Mogo  Mogo – Obano, Katehawa, Haiura, Kemabu, Magoda, Degedai, Gokodimi, Selatan Dabera, Tiom, Soba-Tagma, Kupai, Etna Paririm Ilaga. Sementara di daerah Kepala Burung terdapat di Aisijur dan Kali Sute.  Sementara itu dengan adanya busur kepulauan gunungapi (Awewa Volkanik Group) yang terdiri dari Waigeo Island (F.Rumai) Batanta Islamd (F.Batanta), Utara Kepala Burung (Mandi & Arfak Volc), Yapen Island (Yapen Volc), Wayland Overhrust (Topo Volc), Memungkinkan terdapatnya logam, emas dalam bentuk nugget
SETTING TEKTONIK

Setting Lempeng Tektonik Papua telah diulas oleh beberapa ahli geologi seperti Dow dkk (1985), Smith (1990) dan Mark Closs (1990) dapat dijadikan sebagai kerangka dalam menerangkan posisi dan sejarah tektonik. Konfigurasi  Tektonik Pulau  Papua pada saat ini berada pada bagian tepi utara Lempeng Australia,   yang berkembang akibat adanya pertemuan antara Lempeng Australia yang bergerak ke utara dengan Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat. Dua lempeng utama ini mempunyai sejarah evolusi yang diidentifikasi yeng berkaitan erat dengan perkembangan sari proses magmatik dan pembentukan busur gunung api yang berasoisasi dengan mineralisasi emas phorpir dan emas epithermal. Menurut Smith (1990), perkembangan Tektonik Pulau Papua dapat dipaparkan sebagai berikut:

http://distamben.papua.go.id/images/WEB2.jpg

Periode Oligosen sampai Pertengahan Miosen (35– 5 JT)
Pada bagian belakang busur Lempeng kontienental Australia terjadi pemekaran yang mengontrol proses sedimentasi dari Kelompok Batugamping New Guinea selama Oligosen – Awal Miosen dan pergerakan lempeng ke arah utara berlangsung cepat dan menerus.
Pada bagian tepi utara Lempeng Samudera Solomon terjadi aktivitas penunjaman, membentuk perkembangan Busur Melanesia pada bagian dasar kerak samudera selama periode 44 – 24 Juta Tahun yang (JT). Kejadian ini seiring kedudukannya dengan komplek intrusi yang terjadi pada Oligosen – Awal Miosen  seperti yang terjadi di Kepatusan Bacan, Komplek Porphir West Delta – Kali Sute di Kepala Burung Papua.  Selanjutnya pada Pertengahan Miosen terjadi pembentukan ophiolit pada bagian tepi selatan Lempeng Samudera Solomon dan pada bagian utara dan Timur Laut Lempeng Australia. Kejadian ini membentuk Sabuk Ofiolit Papua dan pada bagian kepala Burung Papau diekspresikan oleh adanya Formasi Tamrau.
Pada Akhir Miosen terjadi aktivitas penunjaman pada Lempeng Samudera Solomon ke arah utara, membentuk Busur Melanesia dan ke arah selatan masuk ke lempeng Australia membentuk busur Kontinen Calc Alkali Moon – Utawa dan busur Maramuni di New Guinea.
Periode Miosen Akhir – Plistosen (15 – 2 JTL)
Mulai dari Miosen Tengah bagian tepi utara Lempeng Australia di New Guinea sangat dipengerahui oleh karakteristik penunjaman dari Lempeng Solomon. Pelelehan sebagian ini  mengakibatkan pembentukan Busur Maramuni dan Moon-Utawa yang diperkirakan *berusia 18 – 7 Juta Tahun. Busur Vulkanik   Moon ini merupakan tempat terjadinya prospek emas sulfida ephitermal dan logam dasar seperti di daerah Apha dan Unigolf,  sedangkan  Maramuni di utara, Lempeng Samudera Solomon menunjam terus di bawah Busur Melanesia mengakibatkan adanya penciutan ukuran selama Miosen Akhir.
Pada 10 juta tahun yang lalu, pergerakan lempeng Australia terus berlanjut dan pengrusakan pada Lempeng Samudra Solomon terus berlangsung mengakibatkan tumbukan di perbatasan bagian utara dengan Busur Melanesia. Busur tersebut terdiri dari gundukan  tebal busur  kepulauan Gunung Api dan sedimen depan busur membentuk bagian “Landasan Sayap Miosen” seperti yang diekspresikan oleh Gunung Api Mandi di Blok Tosem dan Gunung Api Batanta dan Blok Arfak.  Kemiringan tumbukan ini mengakibatkan kenampakan berbentuk sutur antara  Busur Melanesia dan bagian tepi utara Lempeng Australia yang diduduki oleh  Busur Gunung Api Mandi dan Arfak terus berlangsung terus hingga 10 juta tahun yang lalu dan merupakan akhir dan penunjaman dan perkembangan dari busur Moon – Utawa. Kenampakan seperti jahitan ditafsirkan dari bentukan tertutup dari barat ke timur mulai dari Sorong, Koor, Ransiki, Yapen,  dan Ramu – Zona Patahan Markam. Pasca tumbukan gerakan mengiri searah kemiringan  ditafsirkan terjadi sepanjang Sorong, Yapen, Bintuni dan  Zona Patahan Aiduna, membentuk kerangka tektonik di daerah Kepala Burung. Hal ini diakibatkan oleh pergerakan  mencukur dari kepala tepi utara dari Lempeng Australia. Kejadian yang berasosiasi dengan tumbukan busur Melanesia ini menggambarkan bahwa pada Akhir  Miosen usia bagian barat lebih muda dibanding dengan bagian timur. Intensitas perubahan ke arah kemiringan tumbukan semakin bertambah ke arah timur.
Akibat tumbukan tersebut memberikan perubahan yang sangat signifikan di bagian cekungan paparan di bagian selatan dan mengarahkan mekanisme perkembangan Jalur Sesar Naik Papua. Zona Selatan tumbukan yang berasosiasi dengan sesar serarah kemiringan konvergensi  antara pergerakan ke utara lempeng Australia dan pergerakan ke barat lempeng Pasifik  mengakibatkan terjadinya resultante NE-SW tekanan deformasi. Hal itu mengakibatkan  pergerakan evolusi tektonik Papua cenderung ke arah Utara – Barat sampai sekarang. Kejadian tektonik singkat yang penting adalah peristiwa pengangkatan yang diakibatkan oleh tumbukan dari busur kepulauan Melanesia. Hal ini digambatkan oleh irisan stratigrafi di bagian mulai dari batuan dasar yang ditutupi suatu sekuen dari bagian sisi utara Lempeng Australia yang membentuk Jalur Sesar Naik Papua. Bagian tepi utara dari jalur sesar naik ini dibatasi oleh batuan metamorf dan teras ophilite yang menandai kejadian pada Miosen Awal. Perbatasan bagian selatan dari sesar naik ini ditandai oleh  adanya batuan dasar Precambrian yang terpotong di sepanjang Jalur Sesar Naik. Jejak mineral apatit memberikan gambaran bahwa terjadi peristiwa pengangkatan dan peruntuhan secara cepat pada 4 – 3,5 juta tahun yang lalu (Weiland, 1993).
Selama Pliosen (7 – 1 juta tahun yang lalu) Jalur lipatan papua dipengaruhi oleh tipe magma I – suatu tipe magma yang kaya akan komposisi potasium kalk alkali yang menjadi sumber mineralisasi Cu-Au yang bernilai ekonomi di Ersberg dan Ok Tedi. Selama pliosen (3,5 – 2,5 JTL) intrusi pada zona tektonik dispersi di kepala burung terjadi pada bagian pemekaran sepanjang batas graben. Batas graben ini terbentuk sebagai respon dari peningkatan beban tektonik di bagian tepi utara lempeng Australia yang diakibatkan oleh adanya pelenturan dan pengangkatan dari bagian depan cekungan sedimen yang menutupi landasan dari Blok Kemum.    Menurut Smith (1990),   Sebagai akibat  benturan lempeng Australia dan Pasifik adalah terjadinya penerobosan batuan beku dengan komposisi sedang kedalam batuan sedimen diatasnya yang sebelumnya telah mengalami patahan dan perlipatan. Hasil penerobosan itu selanjutnya mengubah batuan sedimen dan mineralisasi dengan t*mbaga yang berasosiasi dengan emas dan perak. Tempat – tempat konsentrasi cebakan logam yang berkadar tinggi diperkiraakan terdapat pada lajur Pegunungan Tengah Papua mulai dari komplek Tembagapura (Erstberg, Grasberg , DOM, Mata Kucing, dll), Setakwa, Mamoa, Wabu, Komopa – Dawagu, Mogo  Mogo – Obano, Katehawa, Haiura, Kemabu, Magoda, Degedai, Gokodimi, Selatan Dabera, Tiom, Soba-Tagma, Kupai, Etna Paririm Ilaga. Sementara di daerah Kepala Burung terdapat di Aisijur dan Kali Sute.  Sementara itu dengan adanya busur kepulauan gunungapi (Awewa Volkanik Group) yang terdiri dari :Waigeo Island (F.Rumai) Batanta Islamd (F.Batanta), Utara Kepala Burung (Mandi & Arfak Volc), Yapen Island (Yapen Volc), Wayland Overhrust (Topo Volc), Memungkinkan terdapatnya logam, emas dalam bentuk nugget

PHISIOGRAFI

Fisiografi Papua secara umum dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu bagian Kepala Burung, Leher dan Badan   Bagian utara Kepala Burung merupakan pegunungan dengan relief kasar, terjal sampai sangat terjal. Batuan yang tersusun berupa batuan gunung api, batuan ubahan, dan batuan intrusif asam sampai menengah. Morfologi ini berangsur berubah ke arah barat – selatan berupa dataran rendah aluvial, rawa dan plateau batugamping.
Bagian Badan didominasi oleh Pegungungan Tengah, dataran pegunungan tinggi dengan lereng di utara dan di selatan berupa dataran dan rawa pada permukaan dekat laut. Dataran di utara terdiri dari cekungan luar antar bukit dikenal sebagai dataran danau yang dibatasi di bagian utaranya oleh medan kasar dengan relief rendah sampai sedang.
Pulau New Guinea telah diakui sebagai hasil dari tumbukan Lempeng Australia dengan Lempeng Pasifik. Menurut Pigram dan Davies (1987), Konvergensi dan deformasi bagian tepi utara lempeng Australia  yang berada di bagian timur Papua New Guinea dimulai sejak  Eosen   hingga sekarang.

Hal itu mengakibatkan kenampakan geologi dan phisiografi Pulau New Guinea dapat dibagi ke dalam 3 provinsi tektonik yaitu :
1.         Dataran Bagian Selatan (Sauthern Plains)
2.         New Guinea Mobile Belt (NGMB)
3.         Bagian Tepi Lempeng Pasifik (Sabuk Ophiolite Papua )

Kenampakan phisiografi dari Papua ini merupakan ekspresi dari keadaan geologi dan tektonik yang pernah terjadi di tempat tersebut.Kerak kontinen Lempeng Australia yang berada di bawah laut Arafura dan meluas ke arah utara merupakan dasar bagian selatan dari Pegunungan Tengah Papua, batuan dasarnya tersusun oleh batuan sedimen paparan berumur Paleozoik sampai Kuarter Tengah (Visser dan Hermes, 1962; Dow dan Sukamto, 1984) 
Provinsi Tektonik Dataran selatan terdiri dari dataran dan rawa-rawa didasari oleh batuan sedimen klastis yang mempunyai ketebalan lebih dari 2 km berumur Eosen sampai MiosenTengah ditutupi oleh batugamping berumur Pliosen – Plistisen (Dow dan Sukamto, 1984). Lebar dataran ini membentang sepanjang 300 km. 
Masuk lebih kedalam lagi dijumpai adanya formasi-formasi batuan yang terlipat kuat dan mengalami persesaran intensif yang dikenal dengan sebutan New Gunea Mobil Belt (Dow, 1977). Kerak Kontinen Lempeng Australia yang ditutupi oleh sedimen paparan yang berada pada bagian ini telah mengalami pengangkatan dan terdeformasi selebar  100 km berupa perlipatan dan persesaran ini menempati bagian ketiga dari Mobile Belt. 
Kompresi,  deformasi dan pengangkatan dari Pegunungan Tengah disebut oleh Dow dan Sukamto (1984) sebagai Orogenesa Melanesia. Proses orogenesa dimulai pada awal Miosen hingga Miosen Akhir dan mencapai puncaknya selama Pliosen Akhir hingga Awal Plistosen. Geometri struktur jalur lipatan ini   mengarah ke Barat Laut (Minster dan Jordan, 1978), selanjutnya Dow dan Sukamto (1984) memperkirakan mengarah 55o dari selatan ke arah barat dan relatif konstan sepanjang orogenesa berlangsung. Batuan dasar dan sedimen paparan terangkat secara bersamaan sepajang komplek sistem struktur yang mengarah ke barat laut tersebut. Sebagai akibatnya bagian sedimen yang ada pada daerah tersebut mengalami persesaran dan terkoyakan, perlipatan yang kuat pada bagian selatan dari antiklin sering mengalami pembalikkan sepanjang struktur utama yang mengalami pergeseran mendatar mengiri (Dow dan Sukamto, 1984).
Di Papua bagian utara atau bagian ke dua dari Mobile Belt New Guinea tersusun oleh batuan vulkanik afanitik (?) yang merupakan bagian tepi utara lempeng Australia yang terjadi selama periode tumbukan kontinen dengan busur kepulauan pada waktu Oligosen (Jaques dan Robinson, 1997; Dow, 1977). Bagian dari Mobile Belt ini tersusun oleh batuan ultramafik Mesozoik sampai Tersier dan mendasari batuan intrusi dari Sabuk Ophiolit Papua dibagian utara yang dibatasi oleh suatu endapan gunung api bawah laut yang berumur Tersier. Endapan Gunung Api bawah laut ini tumpang tindih dengan sedimen klastik hasil erosi selama pengangkatan pegunungan tengah yang diendapkan di cekungan Pantai Utara (Visser dan Hermes, 1962). Sabuk Ophiolite ini dibagian selatan dibatasi oleh suatu seri dari komplek patahan terbalikkan sehingga mendekatkan sabuk ophiolit untuk berhadapan dengan   sedimen dari Jalur Pegunungan Tengah. Pergerakan dari kerak samudera Pasifik sekarang mempunyai batas di sebelah  utara pantai Pulau New Gunea. Formasi stratigrafi yang menyusun daerah ini diterobos oleh suatu grup magma intermediate berumur Pliosen berupa kalk alkali stock dan batholit yang menempati  sepanjang jalur struktur regional utama

1 komentar: