| dudi geologist |
Berdasarkan tingkat proses pembentukannya
yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam
lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut.
* Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.
* Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.
* Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien
* Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.
* Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.
* Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien
dibandingkan dengan bituminus.
* Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari beratnya.
* Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah.
* Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari beratnya.
* Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah.
PERHITUNGAN
CADANGAN BATUBARA
Sumber daya
batubara (Coal Resources) adalah bagian dari endapan batubara yang
diharapkan dapat dimanfaatkan. Sumber daya batu bara ini dibagi dalam
kelas-kelas sumber daya berdasarkan tingkat keyakinan geologi yang ditentukan
secara kualitatif oleh kondisi geologi/tingkat kompleksitas dan secara
kuantitatif oleh jarak titik informasi. Sumberdaya ini dapat meningkat menjadi
cadangan apabila setelah dilakukan kajian kelayakan dinyatakan layak.
Cadangan
batubara (Coal Reserves) adalah bagian dari sumber daya batubara yang
telah diketahui dimensi, sebaran kuantitas, dan kualitasnya, yang pada saat
pengkajian kelayakan dinyatakan layak untuk ditambang.
Klasifikasi
sumber daya dan cadangan batubara didasarkan pada tingkat keyakinan geologi dan
kajian kelayakan. Pengelompokan tersebut mengandung dua aspek, yaitu aspek
geologi dan aspek ekonomi.
Kelas Sumber
Daya
1. Sumber
Daya Batubara Hipotetik (Hypothetical Coal Resource)
Sumber daya
batu bara hipotetik adalah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian dari
daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat
yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan survei tinjau.
Sejumlah
kelas sumber daya yang belum ditemukan yang sama dengan cadangan batubara yg
diharapkan mungkin ada di daerah atau wilayah batubara yang sama dibawah
kondisi geologi atau perluasan dari sumberdaya batubara tereka. Pada umumnya,
sumberdaya berada pada daerah dimana titik-titik sampling dan pengukuran serat
bukti untuk ketebalan dan keberadaan batubara diambil dari distant outcrops,
pertambangan, lubang-lubang galian, serta sumur-sumur. Jika eksplorasi
menyatakan bahwa kebenaran dari hipotesis sumberdaya dan mengungkapkan
informasi yg cukup tentang kualitasnya, jumlah serta rank, maka mereka akan di
klasifikasikan kembali sebagai sumber daya teridentifikasi (identified
resources).
2. Sumber
Daya Batubara Tereka (inferred Coal Resource)
Sumber daya
batu bara tereka adalah jumlah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian
dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan prospeksi.
Titik
pengamatan mempunyai jarak yang cukup jauh sehingga penilaian dari sumber daya
tidak dapat diandalkan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi
ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan
sampling berdasarkan bukti geologi dalam daerah antara 1,2 km – 4,8 km.
termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub
bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm
atau lebih.
3. Sumber
Daya Batubara Tertunjuk (Indicated Coal Resource)
Sumber daya
batu bara tertunjuk adalah jumlah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian
dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi pendahuluan.
Densitas dan
kualitas titik pengamatan cukup untuk melakukan penafsiran secara relistik dari
ketebalan, kualitas, kedalaman, dan jumlah insitu batubara dan dengan alasan
sumber daya yang ditafsir tidak akan mempunyai variasi yang cukup besar jika
eksplorasi yang lebih detail dilakukan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari
proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik
pengukuran dan sampling berdasarkan bukti gteologi dalam daerah antara 0,4 km –
1,2 km. termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sib
bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm.
4. Sumber
Daya Batubara Terukur (Measured Coal Resourced)
Sumber daya
batu bara terukur adalah jumlah batu bara di daerah peyelidikan atau bagian
dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi
syarat–syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi rinci.
Densitas dan
kualitas titik pengamatan cukup untuk diandalkan untuk melakukan penafsiran
ketebalan batubara, kualitas, kedalaman, dan jumlah batubara insitu. Daerah
sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan
kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi
dalam radius 0,4 km. Termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm
atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan
ketebalan 150 cm.
Penghitungan
Sumber Daya
Ada beberapa
metode yang dapat digunakan untuk menghitung sumberdaya batubara di daerah
penelitian. Pemakaian metode disesuaikan dengan kualitas data, jenis data yang
diperoleh, dan kondisi lapangan serta metode penambangan (misalnya sudut
penambangan). Karena data yang digunakan dalam penghitungan hanya berupa data
singkapan, maka metode yang digunakan untuk penghitungan sumber daya daerah
penelitian adalah metode Circular (USGS) (Gambar).
|
Aturan
Penghitungan Sumberdaya Batubara dengan Metode Circular (USGS) (Wood et
al., 1983)
|
Penghitungan
sumber daya batubara menurut USGS dapat dihitung dengan rumus
Tonnase
batubara = A x B x C, dimana
A = bobot
ketebalan rata-rata batubara dalam inci, feet, cm atau meter
B = berat
batubara per stuan volume yang sesuai atau metric ton.
C = area
batubara dalam acre atau hektar
Kemiringan
lapisan batubara juga memberikan pengaruh dalam perhitungan sumber daya
batubara. Bila lapisan batubara memiliki kemiringan yang berbeda-beda, maka
perhitungan dilakukan secara terpisah.
1.
Kemiringan 00 – 100
Perhitungan
Tonase dilakukan langsung dengan menggunakan rumus Tonnase = ketebalan batubara
x berat jenis batubara x area batubara
2.
Kemiringan 100 – 300
Untuk
kemiringan 100 – 300, tonase batubara harus dibagi dengan
nilai cosinus kemiringan lapisan batubara.
3.
Kemiringan > 300
Untuk
kemiringan > 300, tonase batubara dikali dengan nilai cosinus
kemiringan lapisan batubara.
DAERAH HORNA
Sungai Tohu.
Tersingkap di sungai Tohu, sebagai batuan pengapitnya
terdiri dari batulempung berwarna abu-abu muda yang mengandung fragemen
tumbuhan, kemiringan lapisan sekitar 10 ke arah tenggara, tebal batubara bagian
bawah 33 cm, sedangkan bagian atasnya sekitar 5 cm, antara kedua lapisan
batubara tersebut terdapat sisipan lempung
tebalnya sekitar 4 cm. Batubara berwarna coklat kehitaman, kusam dan keras, termasuk dalam batubara kusam.
Tersingkap di pinggir
sungai Tohu, kemiringan lapisan 10, ke arah tenggara. Tebal keselruhan lapisan
batubara yang tersingkap sekitar 56 cm, tetapi didalamnya terdapat sisipan dua
lapisan lempung, tebalnya sekitar 8 cm dan 18 cm, Secara megaskopis batubara
berwarna coklat kehitaman, kusam, pecahan
konkoidal. Batuan pengapitnya batulempung berwarna abu-abu.
Tersingkap dipinggir sungai
Tohu yang membentuk lipatan seret, kemiringan lapisan 50 –60 ke arah barat
daya. Tebal lapisan sekitar 82 cm, secara keseluruhan dari bawah ke atas
terdiri dari batubara kusam 25 cm, lempung karbonan 14 cm dan batubara kusam 15
cm. Batuan Pengapitnya adalah lempung abu-abu
Bukit Hitu
Tersingkap di bukit Hitu sekitar 400 meter sebelah
timur S. Tohu. Panjang singkapan 100
meter, lebar 50 m, jurus dan kemiringan lapisan N 100o E/15o
. Tebal lapisan batubara 39 cm, secara
berurutan dari bawah ke atas terdiri dari perselingan batubara kusam dan
mengkilat setebal 26 cm, lempung 5 cm, dan batubara kusam 8 cm. Bagian bawah
berupa singkapan batulempung abu-abu muda, sedangkan di atasnya tidak ada
lapisan yang menutupinya.
Merupakan sisipan batubara
kusam tebalnya 15 dan 5 cm, terdapat dalam batulempung berselingan dengan
batupasir berwarna abu-abu keputihan, tersingkap di pinggir kali Temok dengan
jurus dan kemiringan lapisan N 105o E/20 o
Tersingkap di sungai Temok Cabang Kanan, kedudukan
batubara N 140o E/23o . Tebal lapisan 76 cm, secara berurutan dari
bawah ke atas terdiri dari perselingan batubara mengkilat dan kusam 56 cm,
lempung karbonan 15 cm dan batubara mengkilat 5 cm. Sebagai batuan pengapitnya
adalah batulempung masif berwarna abu-abu, tebal lempung bagian bawah tidak
diketahui karena sebagian tertutup air, sedangkan tebal bagian atas 1,2 meter.
Tersingkap di pinggir S. Titeng dengan kedudukan
lapisan batubara N 125oE/15o. Tebal lapisan batubara 70
cm, umumnya terdiri dari batubara mengkilat, sebagian batuan pengapitnya
batulempung berwarna abu-abu tua dengan sisipan batupasir. Pada lokasi ini juga
ditemukan batubara setebal 50 cm.
Tersingkap dipinggir Sungai Titeng, yaitu pada
pertembuan antara 2 sungai. Kedudukan lapisan N 125oE/25o.
Jenis lapisan batubara yangtersingkap dari bawah keatas adalah batubara
mengkilat 70 cm, lempung karbonan 10 cm, lempung 20 cm, dan batubara yang
bercampur dengan lempung dan mengandung sedikit resin setebal 20 cm. Di bagian
bawah singkapan terdapat lapisan lempung karbonan, sedangkan bagian atas
tertutupi lapisan batupasir halus
Tersingkap di S. Roga I
(anak sungai Tistohu) tetapi arah jurus kemiringan lapisannya tidak jelas.
Batuannya terdiri dari batubata mengkilat, yang diapit oleh batulempung.
(lokasi 80)
Tersingkap di S. Roga I (anak sungai Tistohu),
kedudukan lapisan batubara N 65oE/75o, Urutan singkapan
dari bawah ke atas terdiri dari batubara
mengkilat 22 cm, batulempung 60 cm, batubara kusam 15 cm, batulempung karbonan
5 cm, batulempung abu-abu kecoklatan yang bercampunr dengan tanah (2,7 m), batubara
mengkilat 50 cm, lempung barbonan 20 cm, perselingan batubara mengkilat dan
kusam sekitar 1,60 m. Namun tebal ini belum pasti karena sebagian lapisannya
tertutup tanah dan lempung karboan.
Berdasarkan singkapan-singkapan yang ditemukan di
lapangan, maka sungai Tistohu di dekat Kampung Horna merupakan daerah batubara
yang berpotensi. Dari hasil rekontruki penampang di lokasi s-36 diperkirakan
bahwa endapan batubara di dekat Horna
terdiri dari dari 4 lapisan, dengan jumlah ketebalan 4,5, sebaran ke
arah timur dikorelasikan sampai sungai Titeng yang jaraknya 3 km, sedangkan
jarak sebaran le arah barat di batasi sejauh 1 km, jadi panjang daerah potensi
adalah sekitar 4 Km2. Mengingat sudut kemiringan lapisan cukup besar 250 –
75o , maka lebar daerah yang dianggap berpotensi dianggap sejauh
200 dari singkapan. Dengan asumsi berat
jenis batubara sekitar 1,3 gram/cm3, maka cadangan batubara di sekitar kampung
Horna sekitar 4.5 juta ton.
Perhitungan cadangan tersebut bersifat
hipotetis. Kualitas batubara ini telah dianalisis dengan menggunakan metode Air
Dies Basis (ADB). Dari 10 contoh yang analisis didapat angka kisan nilai
kalori 5820 m- 7935 kal/gr, kadar belerang 0,21 – 1,78 %, kadar abu 2,1-1,5%,
Karbon tertambat 44,3 – 51,8 %, zat terbang 40,3 – 49,43%, kelembaban 3- 16%.
HGI 40 –55. Dari 10 contoh yang analisis didapat angka angkar rata-rata nilai
kalori 7003 kal/gr., kadar belerang 0,94 %, kadar abu 3,4 %, Karbon tertambat
48,1 %, zat terbang 44,90%, kelembaban 6,.8%.
DAERAH IGOMO
Singkapan batubara pada umumnya terletak di bagian
bawah formasi Steenkool dengan ketebalan mulai 5 cm – 190 cm, pada umumnya
merupakan batubara mengkilat berlapis.
S. Titoko.
Batubara yang tersingkap di
S. Titoko mempunyai jurus dan kimiringan N 120o E/30o,
tebal lapisan 160 cm, hitam mengkilat, masif, pecahan semi konkoidal, litotype
batubaranya adalah batubara mengkilat, diapit oleh batulempung karbonan,
berwarna hitam, dan batupasir lempungan berwarna abu-abu. Koordinat singkapan
ini adalah 133o33’30,75” BT dan 01o37’15,28” LS. Pada
lokasi 133o33’55.21” BT dan 01o37’26,25” LS juga
ditemukan lapisan setebal 60 cm, dengan kedudukan N 135o E/35o
berwarna hitam mengkilat dengan kilat lemak, diapit oleh batulempung.
Anak sungai Titoku
Tersingkap pada koordinat
133o33’52.05” BT dan 01o37’09.51” LS, arah dan jurus
kemiringan N 125o E/7o, tebal lapisan batubara 165 cm ,
berwarna hitam mengkilat, kompak pecahan semi konkoidal,, litotipe batubara
mengkilat, diapit oleh batulempung di bagian bawah dan batupasir di bagian
atas. Berjarak 75 dari lokasi tersebut ditemukan singkapan batubara dengan
urutan, batubara ketebalan 50 cm pada bagian bawah, batulempung setebal 7 cm,
dan batubara setebal 10 cm. Batubara berwarna hitam
mengkilat, kompak, pecahan semi konkoidal, litotipe adalah batubara mengkilat, di apit oleh
lapisan lempung pasiran pada bagian bawah, dan lempung abu-abu terang pada
bagian atas. Di sekitar lokasi tersebut juga ditemukan singkapan batubara
setebal 80 cm, dengan urutan sebagai berikut 50 cm pada lapisan pertama, 15 cm
pada lapisan kedua, 5 cm pada lapisan ketiga dan 10 cm pada lapisan keempat.
Berjarak 500 meter dari
lokasi di atas, ditemukan singkapan batubara setebal 106 cm, dengan kedudukan N
120o E/22o yenga tersusun oleh empat lapisan, yaitu
-
lapisan pertama berupa
batubara mengkilat dengan ketebalan 30 cm, terletak pada lapisan lempung
setebal 200 cm.
-
Lapisan kedua berupa
batubara mengkilatsetebal 60 cm yang terletak pada lapisan batulempung setebal
400 cm
-
Lapisan ketiga ketebalan
batubaranya sekitar 6 cm yangterlatak pada lapisan lempung setebal
-
Lapisan keempat adalah
batubara setebal 10 cm dengan diapit oleh batuibara setebal 20 cm.
Berjarak 50 cm dari
singkapan tersebut ditemukan singkapan 8 lapisan batubara dengan tebal 220
cm, kedudukan perlapisan N 120o
E/25o., dengan ciri warna hitam mengkilat, berlapis, pecahan semi
konkoidal, litotipe adalah batubara mengkilat.
Di lokasi tersebut juga
ditemukan singkapan batubara setebal 160 cm dengan kedudukan N 120o
E/34o yang ditindis oleh
batulempung setebal 25 cm.
Sungai Cicwa
Tersingkap pada koordinat
133o32’58.98” BT dan 01o36’38.05” LS, dengan tebal
batubara 100 cm, batubara berwarna hitam mengkilat, pecahan semi konkoidal
Berdasarkan hasil perhitungan dengan memakai rumus
yang biasanya dipakai untuk menghitung batubara, maka cadangan hipotetik di
derah Igomo adalah sekitar 20 juta ton. Kualitas batubara ini telah dianalisis
dengan menggunakan metode Air Dies Basis (ADB). Dari 10 contoh yang
analisis didapat angka kisan nilai kalori 5820 m- 7935 kal/gr, kadar belerang
0,21 – 1,78 %, kadar abu 2,1-1,5%, Karbon tertambat 44,3 – 51,8 %, zat terbang
40,3 – 49,43%, kelembaban 3- 16%. HGI 40 –55. Dari 10 contoh yang analisis didapat
angka angkar rata-rata nilai kalori 7003 kal/gr., kadar belerang 0,94 %, kadar
abu 3,4 %, Karbon tertambat 48,1 %, zat terbang 44,90%, kelembaban 6,.8%.

SALAWATI SORONG
Lokasi dan Kesampaian Daerah
Daerah prospek terletak di
daerah Salawati dan sekitarnya, Distrik Salawati dengan posisi Koordinat 131o01’40”
– 131o10’36” BT dan 1o00 – 1o06’ LS. Daerah
tersebut dapat dicapai pesawat terbang dari Jayapura ke lapangan terbang di
Jeffman, kemudian dengan kapal motor dilanjutkan ke kota Sorong, dari Sorong
dilanjutkan lagi Ke Pulau Salawati dengan Kapal motor dengan waktu tempuh
sekitar 2 jam. Untuk mencapai pulau-pulau di sekitar daerah penyelidikan
digunakan pula kapal motor yang dapt disewa di Pelabuhan yang ada di desa
Kelobo.
Geologi
Daerah prospek sebagian
besar berupa dataran dengan sudut lereng kurang dari satu derajad, perbukitan
bergelombang menempati sebagaian kecil di bagian barat dan timur daerah
prospek. Daerah prospek umumnya merupakan rawa sagu dan rawa bakau. Pola
pengaliran sungai menunjukkan pola dendretik dan gradien sungai kecil serta
arus kecepatan lambat.
Satuan batuan yang
tersingkap di daerah penyelidikan meliputi satuan batuan dari Formasi Klasaman
yang terdiri dari batupasir gampingan, abu-abu, perlapisan kurang baik, bagian
atasnya ditandai dengan batupasir berbutir kasar, banyak mengandung gloukonit,
hijau gelap seperti yang tersingkap di bagian barat Warir Tengah dan Kelopo We.
Kemudian diatasnya lagi dijumpai batunapal, plastis, abu-abu, pasiran dan
perselingan batupasir gampingan yang keras dan lunak. Batupasir yang keras
mempunyai ketebalan perlapisan kurang dari 39 cm, sedang batupasir yang lunak
mempunyai perlapisan yang tipis.
Di atas Formasi
Klasaman secara tidak selaras diendapkan satuan Konglomerat sele yang terdiri
dari konglomerat Sele yang terdiri dari konglomerat aneka bahan dengan
ciri-ciri fragmen terdiri dari kuarsa, lapukan granit, batupasir, dan
batunapal. Bagian Bawah satuan ini berupa perulangan batuan konglomerat
berfragmen sangat kasar bergradasi hingga batulempung pasiran yang mengandung
sisa-sisa tanaman. Satuan ini ditandai dengan lapisan batubara muda dengan
ketebalan yang tidak konstan berkisar antara beberapa sentimenter hingga 10
meter. Bagian atas dari satuan ini berupa konglomerat pasiran, perlapisan
kurang baik. Satuan konglomerat Sele ini tersingkap di Pantai bagian barat P.
Warir, bagian tengah P. Kabra dan P. Batimee, serta P. Salawati bagian Selatan.
Sedangkan lapisan batubara muda dapat dijumpai di S. Waiboe, di Desa Kelobo, di
P. Warir bagian selatan dan bagian timur.
Satuan Paling muda di
daerah penyelidikan berupa endapan asluvial pantai dan sungai yang terdiri dari
kerikil, pasir, lumpur dan sisa-sisa tumbuhan dari rawa bakau dan rawa sagu.
Struktur geologi yang dijumpai di daerah prospek
berupa lipatan yang cenderung berarah timur-barat dan sesar yang juga cenderung
berarah timur-barat. Gejala sesar ini dapat di amati dari kelurusan gawir di
sepanjang jalan dari daerah SP I sanpai SP II di Pulau Salawati.
Potensi
Sumber daya Batubara
Paling tidak ada 8 lokasi singkapan batubara dijumpai
di daerah prospek, yaitu :
a. Di tepi Pantai Desa Kelobo (S3)
Singkapan batubara di lokasi ini mempunyai kedudukan N
284oE/75o, tebal lapisan 1,65 m, panjang singkapan
mencapai 30 meter, batubara ini berwarna hitam kecoklatan dan agak lunak, serta
mengandung sedikit pirit.
b. Di tepi S. Waiboe
Batubara
di daerah ini berwarna hitam kecoklatan, agak lunak, mengandung pirit (<1%),
struktur sisa tumbuhan kadang masing masih tampak. Kedudukan lapisan batubara N
330oE/9o, dimensi singkapan sekitar 30 x 10 meter,
ketebalan sulit ditentukan karena terbatasnya singkapan dan diperlukan pemboran
eksplorasi.
Hasil
analisa yng dilakukan di Laboratorium Kimia Mineral Direktorat Sumberdaya
Mineral di Bandung menunjukkan bahwa batubara di daerah ini mempunyai kadar air
12,2%, kadar abu 2,9%, Nilai Kalori 5600 Kal/gram, kandungan belerang 0,33%.
Dalam klasifikasi ASTM termasuk jenis “brown coal”.
c. Di dekat S. Waiboe
Batubara
di lokasi ini hitam kecoklatan, agak lunak, ketebalan 10 meter, kedudukan
lapisan batubara N 270oE/70o panjang tersingkap 50 meter.
Hasil analisa yng dilakukan di Laboratorium Kimia Mineral Direktorat Sumberdaya
Mineral di Bandung menunjukkan bahwa batubara di daerah ini mempunyai kadar air
13,1%, kadar abu 5,4%, Nilai Kalori 5315 Kal/gram, kandungan belerang 0,42%.
Dalam klasifikasi ASTM termasuk jenis “brown coal”.
d. Di Warir
Batubara di daerah ini
berwarna hitam kecoklatan, keruh, agak lunak, perlapisan kurang baik, kedudukan
lapisan N 275oE/15o. Dimensi singkapan 8 x 13,30 meter
dan ketebalan 67,2 meter. Batubara ini tersingkap pada daerah perbukitan dengan
sudut lereng 25o.
e. Di S. Wailen
Singkapan di lokasi ini mempunyai kedudukan lapisan N
228oE/30o, berwarna hitam kecoklatan, agak lunak, dimensi
singkapan 2 x 4 meter, ketebalan 25 cm. Lapisan diatasnya berupa batulanau
gampingan, abu-abu, agak lapuk. Sedan lapisan bawahnya berupa lempung abu-abu,
gampingan, lunak.
f. Di dekat dermaga Desa Kelobo
Batubara di lokasi ini
berwarna hitam kecoklatan, agak lunak, kedudukan perlapisan N 260oE/25o.
Dimensi singkapan 21 x 2,9 m, tebal 2,3
meter.
g.
Di Lokasi S14
Batubara di lokasi ini
berwarna coklat kehitaman, agak lunak, kusam, kedudukan lapisan N 250oE/70o,
tebal 16,8 meter. Kondisi di sekitar singkapan berupa perbukitan bergelombang
rendah.
h.
Di P. Reef (S9)
Batubara
di lokasi ini berwarna hitam kecoklatan, agak lunak, kusam, kedudukan
lapisan N 210oE/30o.
Dimensi singkapan 19,9 x 29,8 m, ketebalan belum dapat ditentukan karena
perlu pemboran eksplorasi. Pada saat air pasang pulau ini akan tenggelam.
Untuk menghitung besarnya sumberdaya batubara di
daerah prospek digunakan batasan-batasan sebagai berikut :
a.
Penghitungan cadangan
hipotetik didasarkan pada rekontruksi posisi batubara dari singkapan-singkapan
tersebut di atas.
b.
Penghitungan dilakukan pada
daerah yang ditutupi oleh lapisan tanah pada jarak miring tidak lebih dari 300
meter.
c.
Batas pelamparan searah
jurus dari singkapan batubara merupakan panjang maksimum dari singkapan yang
dihitung (p = panjang).
d.
Jumlah sumberdaya yang
dihitung dihasilkan dari pengkalian p x 1 x tebal x berat jenis batubara
(diambil harga 1,3)
e.
Ketebalan batubara diambil
dari ketebalan yang dianggap mewakili yaitu sekitar 5 meter di bagian utara dan
sekitar 10 meter di bagian selatan
Dari batasan-batasan tersebut di atas diperoleh
cadangan sumberdaya hipotetik sebesar :
Di bagian Utara =
5600 m x 300 m x 5 x 1,3 ton/m3.
= 10.920.000 ton
Di bagian Selatan = 6000 m x 300 m x 10 m x 1,3 ton/m3.
= 23.400.000
ton
Batubara di daerah penelidikan secara umum mempunyai
ciri-ciri berwarna hitam kecoklatan, kusam, rapuh, dapat mengotori tangan,
sering diisi mineral lain seperti mineral lempung, sulfida yang berupa pirit,
dan kadang masih terlihat tekstur kayu, maka menurut Dieesel (1984) jenis ini masih termasuk Fusain. Hasil analisis
laboratorium menunjukkan nilai kalor rata-rata 5457,5 kal/gram, kadar air
rata-rata 12,65%, kadar abu rata-rata 4,15 %, dan kadar belerang 0,37 %.
Dengan mempertimbangkan
beberapa faktor, utamanya menyangkut
kualitas batubara yang berupa “brown coal”,
kedudukan perlapisan yang hampir tegak terutama di baghian tengah, serta
kondidi alam yang berupa rawa-rawa dan morfologi berupa dataran dengan ketinggian
kurang dari 50 meter dari permukaan laut, maka batubara di daerah ini dapat
dikembangkan sebagai energi alternatif di kota sorong dalam bentuk suatu PLTGU
mini yang mampu mensuplai kebutuhan tenaga listrik di kota tersebut.
STRATIGRAFI
|
|
||
![]() |
Pre-Kambrium-Paleozoikum
Di daerah Badan Burung atau sekitar Pegunungan Tengah tersingkap
Formasi Awigatoh sebagai batuan tertua di Papua yang berumur pre-Kambrium,
juga disebut Formasi Nerewip oleh Parris (1994) di dalam lembar peta Timika.
Formasi ini terdiri dari batuan metabasalt, metavulkanik dengan sebagian
kecil batugamping, batuserpih dan batulempung. Formasi Awigatoh ini ditindih
secara tidak selaras oleh Formasi Kariem.
Formasi Kariem tersusun oleh
perulangan batupasir kuarsa berbutir halus dengan batuserpih dan batulempung.
Umur formasi ini ditafsirkan sekitar Awal Paleozoikum atau pre-Kambrium yang
didasarkan pada posisi stratigrafinya yang berada di bawah Formasi Modio yang
berumum ilur Devon. Penentuan umur Formasi Modia dilakukan dengan metode fision
track dari mineral zirkon yaitu
650+ 6,3 juta tahun yang lalu (Quarles van Ufford,1996).
Didaerah Gunung Bijih Mining Access
(GBMA) dijumpai singkapan Formasi Kariem yang ditutupi secara disconformable
oleh Formasi Tuaba. Formasi Tuaba tersusun oleh batupasir kuarsa berlapis
sedang dengan sisipan konglomerat dan batuserpih yang diperkirakan berumur
Awal Paleozoikum atau pre-Kambrium.
|
|
|
Selanjutnya di atas Formasi Tuaba
dijumpai Formasi Modio yang dibagi menjadi 2 bagian yaitu bagian bawah
Anggota A yang didominasi oleh batuan
karbonat yaitu stromatolitik dolostone berlapis baik. Sedangkan dibagian
atasnya ditempati oleh Anggota B yang terdiri dari batupasir berbutir halus
dengan internal struktur seperti planar dan silang siur, serta laminasi
sejajar. Umur formasi ini ditentukan berdasarkan kandungan koral dan fission
track yang menghasilkan Silur-Devon. Kontak formasi ini dengan Formasi Aiduna
yang terletak di atasnya ditafsirkan sebagai kantak disconformable (Ufford, 1996).
Formasi Aiduna dicirikan oleh batuan
silisiklastik berlapis baik dengan sisipan batubara, dan ditafsirkan sebagai
endapan fluvial sampai lingkungan delta, dan secara stratigrafi formasi ini
ditindih secara selaras oleh Formasi Tipuma. Umur formasi ini ditentukan
berdasarkan kandungan fosil brachiopoda yaitu Perm.
Di daerah Kepala Burung atau Salawati-Bintuni, batuan
dasar yang berumur Paleozoikum terutama tersingkap di sebelah timur kepala
Burung yang dikenal sebagai Tinggian Kemum, serta disekitar Gunung Bijih
Mining Access (GBMA) yaitu di sebelah barat daya Pegunungan Tengah. Batuan
dasar tersebut disebut Formasi Kemum yang tersusun oleh batusabak, filit dan
kuarsit. Formasi ini di sekitar Kepala Burung dintrusi oleh bitit Granit yang
berumur Karbon yang disebut sebagai Anggi Granit pada Trias. Oleh sebab itu
Formasi Kemum ditafsirkan terbentuk pada sekitar Devon sampai Awal Karbon
(Pigram dkk, 1982).
Selanjutnya Formasi Kemum ditindih secara tidak selaras
oleh Group Aifam. Di sekitar Kepala Burung group ini dibagi menjadi 3 Formasi
yaitu Formasi Aimau, Aifat dan Ainim. Group ini terdiri dari suatu seri
batuan sedimen yang taktermalihkan dan terbentuk di lingkungan laut dangkal
sampai fluvio-delataik. Satuan ini di daerah Bintuni ditutupi secara tidak
selaras oleh Formasi Tipuma yang berumur Trias (Bintoro & Luthfi, 1999).
Mesozoikum
Formasi Tipuma terdiri dari batulempung yang berwarna
merah-kehijauan dan batupasir kasar sampai halus yang berwarna abu-abu
kehijauan dengan ketebalan sekitar 550 meter. Umur formasi ini diperkirakan
sekitar Trias Tengah sampai Atas dan diendapkan dilingkungan supratidal.
Di daerah Kepala Burung, Formasi Tipuma ditutupi secara
tidak selaras oleh Kembelangan Grup yang tak terpisahkan, dimana pada bagian
atasnya di sebut Formasi Jass terdiri dari batupasir kuarsa dan batulempung
karbonatan; sedangkan di daerah Leher dan Badan Burung Kembelangan Grup dapat
dibagi menjadi 4 Formasi yaitu dari bawah ke aas adalah Formasi Kopai
(batupasir dengan sisipan batulempung), Formasi (batupasir), Formasi Paniya (batulempung)
dan Formasi Eksmai (batupasir).
Kenozoikum
Grup Batugamping New Guinea, Grup ini dibagi menjadi 4
formasi dari tua ke muada adalah sebagai berikut : Formasi Waripi, Formasi
Faumai, Formasi Sirga dan Formasi Kais.
Formasi Waripi terutama tersusun oleh
karbonat dolomitik, dan batupsir kuarsa diendapkan di lingkungan laut dangkal
yang berumur Paleosen sampai Eosen. Di atas formasi ini diendapkan Formasi
Faumai secara selaras dan terdiri dari batugamping berlapis tebal (sampai 15
meter) yang kaya fosil foraminifera, batugamping lanauan dan perlapisan
batupasir kuarasa dengan ketebalan sampai 5 meter, tebal seluruh formasi ini
sekitar 500 meter.
Formasi Faumai terletak secara
selaras di atas Formasi Waripi yang juga merupakan sedimen yang diendapkan di
lingkungan laut dangkal. Formasi ini terdiri dari batuan karbonat berbutir
halus atau kalsilutit dan kaya akan fosil foraminifera (miliolid) yang
menunjukkan umur Eosen.
Formasi sirga dijumpai terletak secara selaras di atas
Formasi Faumai, terdiri dari batupasir kuarsa berbutir kasar sampai sedang
mengnadung fosil foraminifera, dan batuserpih yang setempat kerikilan.
Formasi Sirga ditafsirkan sebagai endapan fluvial sampai laut dangkal dan
berumur Oligosen Awal.
Formasi Kais terletak secara selaras
di atas Formasi Sirga. Formasi Kais terutama tersusun oleh batugamping yang
kaya foraminifera yang berselingan dengan lanau, batuserpih karbonatan dan
batubara. Umur formasi ini berkisar antara Awal Miosen sampai Pertengahan
Miosen dengan ketebalan sekitar 400 sampai 500 meter.
Miosen sampai Recent.
Pada Miosen sampai recent, di Papua
dijumpai adanya 3 formasi yang dikenal sebagai Formasi Klasaman, Steenkool
dan Buru yang hampir seumur dan mempunyai kesamaan litologi, yaitu batuan
silisiklastik dengan ketebalan sekitar 1000 meter. Ketiga formasi tersebut di
atas mempunyai hubungan menjari, Namun Formasi Buru yang dijumpai di daerah
Badan Bururng pada bagian bawahnya menjemari dengan Formasi Klasafat. Formasi
Klasafat yang berumur Mio-Pliosen dan terdiri dari batupasir lempungan dan
batulanau secara selaras ditindih oleh Formasi Klasaman dan Steenkool.
Endapan
aluvial dijumpai terutama di sekitar sungai besar sebagai endapan bajir,
terutama terdiri dari bongkah, kerakal, kerikil, pasir dan lempung dari
rombakan batuan yang lebih tua.
|
||
SEJARAH GEOLOGI PAPUA
|
Geologi Papua merupakan priode
endapan sedimentasi dengan masa yang panjang pada tepi Utara Kraton Australia
yang pasif yang berawal pada Zaman Karbon sampai Tersier Akhir. Lingkungan
pengendapan berfluktuasi dari lingkungan air tawar, laut dangkal sampai laut
dalam dan mengendapkan batuan klatik kuarsa, termasuk lapisan batuan merah
karbonan, dan berbagai batuan karbonat yang ditutupi oleh Kelompok
Batugamping New Guinea yang berumur Miosen. Ketebalan urutan sedimentasi ini
mencapai + 12.000 meter.
|
|||
![]() |
Pada Kala Oligosen terjadi
aktivitas tektonik besar pertama di Papua, yang merupakan akibat dari
tumbukan Lempeng Australia dengan busur kepulauan berumur Eosen pada Lempeng
Pasifik. Hal ini
menyebabkan deformasi dan metamorfosa fasies sekis hijau berbutir halus,
turbidit karbonan pada sisii benua membentuk Jalur “Metamorf Rouffae” yang
dikenal sebagai “Metamorf Dorewo"
|
||
|
Akibat lebih
lanjut tektonik ini adalah terjadinya sekresi (penciutan) Lempeng Pasifik ke
tas jalur malihan dan membentuk Jalur Ofiolit Papua
Pada Kala Oligosen terjadi aktivitas
tektonik besar pertama di Papua, yang merupakan akibat dari tumbukan Lempeng
Australia dengan busur kepulauan berumur Eosen pada Lempeng Pasifik. Hal ini menyebabkan deformasi dan metamorfosa fasies
sekis hijau berbutir halus, turbidit karbonan pada sisii benua membentuk
Jalur “Metamorf Rouffae” yang dikenal sebagai “Metamorf Dorewo”. Akibat lebih
lanjut tektonik ini adalah terjadinya sekresi (penciutan) Lempeng Pasifik ke
tas jalur malihan dan membentuk Jalur Ofiolit Papua.
|
|||
![]() |
Peristiwa tektonik penting
kedua yang melibatkan Papua adalah Orogenesa Melanesia yang berawal
dipertengahan Miosen yang diakibatkan oleh adanya tumbukan Kraton Australia dengan Lempeng
Pasifik.
|
||
|
Hal ini mengakibatkan deformasi
dan pengangkatan kuat batuan sedimen Karbon-Miosen (CT), dan membentuk Jalur Aktif Papua. Kelompok
Batugamping New Guinea kini terletak pada Pegunungan Tengah. Jalur ini
dicirikan oleh sistem yang komplek dengan kemiringan ke arah utara, sesar
naik yang mengarah ke Selatan, lipatan kuat atau rebah dengan kemiringan
sayap ke arah selatan Orogenesa
Melanesia ini diperkirakan mencapai puncaknya pada Pliosen Tengah.
|
|||
![]() |
Dari pertengahan Miosen sampai
Plistosen, cekungan molase berkembang baik ke Utara maupun Selatan. Erosi
yang kuat dalam pembentukan pegunungan menghasilkan detritus yang diendapkan
di cekungan-cekungan sehingga mencapai ketebalan 3.000 – 12.000 meter.
|
||
|
Pemetaan Regional yang dilakukan oleh PT
Freeport, menemukan paling tidak pernah terjadi tiga fase magmatisme di daerah Pegunungan Tengah. Secara umum,
umur magmatisme diperkirakan berkurang ke arah selatan dani utara dengan pola
yang dikenali oleh Davies (1990) di Papua Nugini.
Fase
magmatisme tertua terdiri dari terobosan gabroik sampai dioritik,
diperkirakan berumur Oligosen dan terdapat dalam lingkungan Metamorfik
Derewo. Fase kedua magmatisme berupa diorit berkomposisi alkalin terlokalisir
dalam Kelompok Kembelangan pada sisi Selatan Patahan Orogenesa Melanesia
Derewo yang berumur Miosen Akhir
sampai Miosen Awal. Magmatisme termuda dan terpenting berupa instrusi
dioritik sampai monzonitik yang
dikontrol oleh suatu patahan yang aktif mulai Pliosen Tengah sampai kini.
Batuan-Batuan intrusi tersebut menerobos hingga mencapai Kelompok Batugamping
New Guinea, dimana endapan porphiri Cu-Au dapat terbentuk seperti Tembagapura
dan OK Tedi di Papua Nugini.
|
|||
![]() |
Tumbukan Kraton Australia
dengan Lempeng Pasifik yang terus berlangsung hingga sekarang menyebabkan
deformasi batuan dalam cekungan molase tersebut.
|
||
|
Batuan terobosan di
Tembagapura berumur 3 juta tahun (McMahon, 1990, data tidak dipublikasikan),
sedangkan batuan terbosan OK Tedi berumur Pliosen akhir pada kisaran 2,6
sampai 1,1 juta tahun. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Nabire Bhakti
Mining terhadap 5 contoh batuan intrusi di Distrik Komopa menghasilkan umur antara 2,9 juta tahun sampai 3,9 juta
tahun. Selama Pliosen (7 – 1 juta tahun yang lalu) Jalur lipatan papua
dipengaruhi oleh tipe magma I – suatu tipe magma yang kaya akan komposisi
potasium kalk alkali yang menjadi sumber mineralisasi Cu-Au yang bernilai
ekonomi di Ersberg dan Ok Tedi. Selama pliosen (3,5 – 2,5 JTL) intrusi pada
zona tektonik dispersi di kepala burung terjadi pada bagian pemekaran
sepanjang batas graben. Batas graben ini terbentuk sebagai respon dari
peningkatan beban tektonik di bagian tepi utara lempeng Australia yang
diakibatkan oleh adanya pelenturan dan pengangkatan dari bagian depan
cekungan sedimen yang menutupi landasan dari Blok Kemum. Menurut Smith (1990), Sebagai akibat benturan lempeng Australia dan Pasifik
adalah terjadinya penerobosan batuan beku dengan komposisi sedang kedalam
batuan sedimen diatasnya yang sebelumnya telah mengalami patahan dan
perlipatan. Hasil penerobosan itu selanjutnya mengubah batuan sedimen dan
mineralisasi dengan t*mbaga yang berasosiasi dengan emas dan perak. Tempat –
tempat konsentrasi cebakan logam yang berkadar tinggi diperkiraakan terdapat
pada lajur Pegunungan Tengah Papua mulai dari komplek Tembagapura (Erstberg,
Grasberg , DOM, Mata Kucing, dll), Setakwa, Mamoa, Wabu, Komopa – Dawagu,
Mogo Mogo – Obano, Katehawa, Haiura,
Kemabu, Magoda, Degedai, Gokodimi, Selatan Dabera, Tiom, Soba-Tagma, Kupai,
Etna Paririm Ilaga. Sementara di daerah Kepala Burung terdapat di Aisijur dan
Kali Sute. Sementara itu dengan adanya
busur kepulauan gunungapi (Awewa Volkanik Group) yang terdiri dari Waigeo
Island (F.Rumai) Batanta Islamd (F.Batanta), Utara Kepala Burung (Mandi &
Arfak Volc), Yapen Island (Yapen Volc), Wayland Overhrust (Topo Volc), Memungkinkan
terdapatnya logam, emas dalam bentuk nugget
|
|||
SETTING TEKTONIK
Setting
Lempeng Tektonik Papua telah diulas oleh beberapa ahli geologi seperti Dow dkk
(1985), Smith (1990) dan Mark Closs (1990) dapat dijadikan sebagai kerangka
dalam menerangkan posisi dan sejarah tektonik. Konfigurasi Tektonik Pulau Papua pada saat ini berada pada bagian tepi
utara Lempeng Australia, yang berkembang
akibat adanya pertemuan antara Lempeng Australia yang bergerak ke utara dengan
Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat. Dua lempeng utama ini mempunyai sejarah
evolusi yang diidentifikasi yeng berkaitan erat dengan perkembangan sari proses
magmatik dan pembentukan busur gunung api yang berasoisasi dengan mineralisasi
emas phorpir dan emas epithermal. Menurut Smith (1990), perkembangan Tektonik
Pulau Papua dapat dipaparkan sebagai berikut:

Periode Oligosen sampai
Pertengahan Miosen (35– 5 JT)
Pada bagian belakang
busur Lempeng kontienental Australia terjadi pemekaran yang mengontrol proses
sedimentasi dari Kelompok Batugamping New Guinea selama Oligosen – Awal Miosen
dan pergerakan lempeng ke arah utara berlangsung cepat dan menerus.
Pada bagian tepi utara
Lempeng Samudera Solomon terjadi aktivitas penunjaman, membentuk perkembangan
Busur Melanesia pada bagian dasar kerak samudera selama periode 44 – 24 Juta
Tahun yang (JT). Kejadian ini seiring kedudukannya dengan komplek intrusi yang
terjadi pada Oligosen – Awal Miosen
seperti yang terjadi di Kepatusan Bacan, Komplek Porphir West Delta –
Kali Sute di Kepala Burung Papua.
Selanjutnya pada Pertengahan Miosen terjadi pembentukan ophiolit pada
bagian tepi selatan Lempeng Samudera Solomon dan pada bagian utara dan Timur
Laut Lempeng Australia. Kejadian ini membentuk Sabuk Ofiolit Papua dan pada
bagian kepala Burung Papau diekspresikan oleh adanya Formasi Tamrau.
Pada Akhir Miosen terjadi aktivitas penunjaman
pada Lempeng Samudera Solomon ke arah utara, membentuk Busur Melanesia dan ke
arah selatan masuk ke lempeng Australia membentuk busur Kontinen Calc Alkali
Moon – Utawa dan busur Maramuni di New Guinea.
Periode Miosen
Akhir – Plistosen (15 – 2 JTL)
Mulai dari Miosen Tengah bagian tepi utara Lempeng
Australia di New Guinea sangat dipengerahui oleh karakteristik penunjaman dari
Lempeng Solomon. Pelelehan sebagian ini
mengakibatkan pembentukan Busur Maramuni dan Moon-Utawa yang
diperkirakan *berusia 18 – 7 Juta Tahun. Busur Vulkanik Moon ini merupakan tempat terjadinya prospek
emas sulfida ephitermal dan logam dasar seperti di daerah Apha dan Unigolf, sedangkan
Maramuni di utara, Lempeng Samudera Solomon menunjam terus di bawah
Busur Melanesia mengakibatkan adanya penciutan ukuran selama Miosen Akhir.
Pada
10 juta tahun yang lalu, pergerakan lempeng Australia terus berlanjut dan
pengrusakan pada Lempeng Samudra Solomon terus berlangsung mengakibatkan
tumbukan di perbatasan bagian utara dengan Busur Melanesia. Busur tersebut
terdiri dari gundukan tebal busur kepulauan Gunung Api dan sedimen depan busur
membentuk bagian “Landasan Sayap Miosen” seperti yang diekspresikan oleh Gunung
Api Mandi di Blok Tosem dan Gunung Api Batanta dan Blok Arfak. Kemiringan tumbukan ini mengakibatkan
kenampakan berbentuk sutur antara Busur
Melanesia dan bagian tepi utara Lempeng Australia yang diduduki oleh Busur Gunung Api Mandi dan Arfak terus
berlangsung terus hingga 10 juta tahun yang lalu dan merupakan akhir dan
penunjaman dan perkembangan dari busur Moon – Utawa. Kenampakan seperti jahitan
ditafsirkan dari bentukan tertutup dari barat ke timur mulai dari Sorong, Koor,
Ransiki, Yapen, dan Ramu – Zona Patahan
Markam. Pasca tumbukan gerakan mengiri searah kemiringan ditafsirkan terjadi sepanjang Sorong, Yapen,
Bintuni dan Zona Patahan Aiduna,
membentuk kerangka tektonik di daerah Kepala Burung. Hal ini diakibatkan oleh
pergerakan mencukur dari kepala tepi
utara dari Lempeng Australia. Kejadian yang berasosiasi dengan tumbukan busur
Melanesia ini menggambarkan bahwa pada Akhir
Miosen usia bagian barat lebih muda dibanding dengan bagian timur.
Intensitas perubahan ke arah kemiringan tumbukan semakin bertambah ke arah
timur.
Akibat
tumbukan tersebut memberikan perubahan yang sangat signifikan di bagian
cekungan paparan di bagian selatan dan mengarahkan mekanisme perkembangan Jalur
Sesar Naik Papua. Zona Selatan tumbukan yang berasosiasi dengan sesar serarah
kemiringan konvergensi antara pergerakan
ke utara lempeng Australia dan pergerakan ke barat lempeng Pasifik mengakibatkan terjadinya resultante NE-SW
tekanan deformasi. Hal itu mengakibatkan
pergerakan evolusi tektonik Papua cenderung ke arah Utara – Barat sampai
sekarang. Kejadian tektonik singkat yang penting adalah peristiwa pengangkatan
yang diakibatkan oleh tumbukan dari busur kepulauan Melanesia. Hal ini
digambatkan oleh irisan stratigrafi di bagian mulai dari batuan dasar yang
ditutupi suatu sekuen dari bagian sisi utara Lempeng Australia yang membentuk
Jalur Sesar Naik Papua. Bagian tepi utara dari jalur sesar naik ini dibatasi
oleh batuan metamorf dan teras ophilite yang menandai kejadian pada Miosen
Awal. Perbatasan bagian selatan dari sesar naik ini ditandai oleh adanya batuan dasar Precambrian yang
terpotong di sepanjang Jalur Sesar Naik. Jejak mineral apatit memberikan
gambaran bahwa terjadi peristiwa pengangkatan dan peruntuhan secara cepat pada
4 – 3,5 juta tahun yang lalu (Weiland, 1993).
Selama
Pliosen (7 – 1 juta tahun yang lalu) Jalur lipatan papua dipengaruhi oleh tipe
magma I – suatu tipe magma yang kaya akan komposisi potasium kalk alkali yang
menjadi sumber mineralisasi Cu-Au yang bernilai ekonomi di Ersberg dan Ok Tedi.
Selama pliosen (3,5 – 2,5 JTL) intrusi pada zona tektonik dispersi di kepala
burung terjadi pada bagian pemekaran sepanjang batas graben. Batas graben ini
terbentuk sebagai respon dari peningkatan beban tektonik di bagian tepi utara
lempeng Australia yang diakibatkan oleh adanya pelenturan dan pengangkatan dari
bagian depan cekungan sedimen yang menutupi landasan dari Blok Kemum. Menurut Smith (1990), Sebagai akibat benturan lempeng Australia dan Pasifik adalah
terjadinya penerobosan batuan beku dengan komposisi sedang kedalam batuan
sedimen diatasnya yang sebelumnya telah mengalami patahan dan perlipatan. Hasil
penerobosan itu selanjutnya mengubah batuan sedimen dan mineralisasi dengan
t*mbaga yang berasosiasi dengan emas dan perak. Tempat – tempat konsentrasi
cebakan logam yang berkadar tinggi diperkiraakan terdapat pada lajur Pegunungan
Tengah Papua mulai dari komplek Tembagapura (Erstberg, Grasberg , DOM, Mata
Kucing, dll), Setakwa, Mamoa, Wabu, Komopa – Dawagu, Mogo Mogo – Obano, Katehawa, Haiura, Kemabu,
Magoda, Degedai, Gokodimi, Selatan Dabera, Tiom, Soba-Tagma, Kupai, Etna
Paririm Ilaga. Sementara di daerah Kepala Burung terdapat di Aisijur dan Kali
Sute. Sementara itu dengan adanya busur
kepulauan gunungapi (Awewa Volkanik Group) yang terdiri dari :Waigeo Island
(F.Rumai) Batanta Islamd (F.Batanta), Utara Kepala Burung (Mandi & Arfak
Volc), Yapen Island (Yapen Volc), Wayland Overhrust (Topo Volc), Memungkinkan
terdapatnya logam, emas dalam bentuk nugget
PHISIOGRAFI
Fisiografi Papua secara umum
dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu bagian Kepala Burung, Leher dan
Badan Bagian utara Kepala Burung
merupakan pegunungan dengan relief kasar, terjal sampai sangat terjal. Batuan
yang tersusun berupa batuan gunung api, batuan ubahan, dan batuan intrusif asam
sampai menengah. Morfologi ini berangsur berubah ke arah barat – selatan berupa
dataran rendah aluvial, rawa dan plateau batugamping.
Bagian Badan didominasi oleh
Pegungungan Tengah, dataran pegunungan tinggi dengan lereng di utara dan di
selatan berupa dataran dan rawa pada permukaan dekat laut. Dataran di utara
terdiri dari cekungan luar antar bukit dikenal sebagai dataran danau yang
dibatasi di bagian utaranya oleh medan kasar dengan relief rendah sampai
sedang.
Pulau New Guinea telah diakui
sebagai hasil dari tumbukan Lempeng Australia dengan Lempeng Pasifik. Menurut
Pigram dan Davies (1987), Konvergensi dan deformasi bagian tepi utara lempeng
Australia yang berada di bagian timur
Papua New Guinea dimulai sejak
Eosen hingga sekarang.
Hal itu mengakibatkan kenampakan
geologi dan phisiografi Pulau New Guinea dapat dibagi ke dalam 3 provinsi
tektonik yaitu :
1.
Dataran Bagian Selatan (Sauthern
Plains)
2.
New Guinea Mobile Belt (NGMB)
3.
Bagian Tepi Lempeng Pasifik (Sabuk
Ophiolite Papua )
Kenampakan phisiografi dari Papua
ini merupakan ekspresi dari keadaan geologi dan tektonik yang pernah terjadi di
tempat tersebut.Kerak kontinen Lempeng Australia yang berada di bawah laut
Arafura dan meluas ke arah utara merupakan dasar bagian selatan dari Pegunungan
Tengah Papua, batuan dasarnya tersusun oleh batuan sedimen paparan berumur
Paleozoik sampai Kuarter Tengah (Visser dan Hermes, 1962; Dow dan Sukamto,
1984)
Provinsi Tektonik Dataran selatan
terdiri dari dataran dan rawa-rawa didasari oleh batuan sedimen klastis yang
mempunyai ketebalan lebih dari 2 km berumur Eosen sampai MiosenTengah ditutupi
oleh batugamping berumur Pliosen – Plistisen (Dow dan Sukamto, 1984). Lebar
dataran ini membentang sepanjang 300 km.
Masuk lebih kedalam lagi dijumpai
adanya formasi-formasi batuan yang terlipat kuat dan mengalami persesaran
intensif yang dikenal dengan sebutan New Gunea Mobil Belt (Dow, 1977). Kerak
Kontinen Lempeng Australia yang ditutupi oleh sedimen paparan yang berada pada
bagian ini telah mengalami pengangkatan dan terdeformasi selebar 100 km berupa perlipatan dan persesaran ini
menempati bagian ketiga dari Mobile Belt.
Kompresi, deformasi dan pengangkatan dari Pegunungan
Tengah disebut oleh Dow dan Sukamto (1984) sebagai Orogenesa Melanesia. Proses
orogenesa dimulai pada awal Miosen hingga Miosen Akhir dan mencapai puncaknya
selama Pliosen Akhir hingga Awal Plistosen. Geometri struktur jalur lipatan
ini mengarah ke Barat Laut (Minster dan
Jordan, 1978), selanjutnya Dow dan Sukamto (1984) memperkirakan mengarah 55o
dari selatan ke arah barat dan relatif konstan sepanjang orogenesa berlangsung.
Batuan dasar dan sedimen paparan terangkat secara bersamaan sepajang komplek
sistem struktur yang mengarah ke barat laut tersebut. Sebagai akibatnya bagian
sedimen yang ada pada daerah tersebut mengalami persesaran dan terkoyakan,
perlipatan yang kuat pada bagian selatan dari antiklin sering mengalami
pembalikkan sepanjang struktur utama yang mengalami pergeseran mendatar mengiri
(Dow dan Sukamto, 1984).
Di Papua bagian utara atau bagian ke dua dari Mobile
Belt New Guinea tersusun oleh batuan vulkanik afanitik (?) yang merupakan
bagian tepi utara lempeng Australia yang terjadi selama periode tumbukan
kontinen dengan busur kepulauan pada waktu Oligosen (Jaques dan Robinson, 1997;
Dow, 1977). Bagian dari Mobile Belt ini tersusun oleh batuan ultramafik
Mesozoik sampai Tersier dan mendasari batuan intrusi dari Sabuk Ophiolit Papua
dibagian utara yang dibatasi oleh suatu endapan gunung api bawah laut yang berumur
Tersier. Endapan Gunung Api bawah laut ini tumpang tindih dengan sedimen
klastik hasil erosi selama pengangkatan pegunungan tengah yang diendapkan di
cekungan Pantai Utara (Visser dan Hermes, 1962). Sabuk Ophiolite ini dibagian
selatan dibatasi oleh suatu seri dari komplek patahan terbalikkan sehingga
mendekatkan sabuk ophiolit untuk berhadapan dengan sedimen dari Jalur Pegunungan Tengah.
Pergerakan dari kerak samudera Pasifik sekarang mempunyai batas di sebelah utara pantai Pulau New Gunea. Formasi stratigrafi
yang menyusun daerah ini diterobos oleh suatu grup magma intermediate berumur
Pliosen berupa kalk alkali stock dan batholit yang menempati sepanjang jalur struktur regional utama






Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus